Perjalanan kami dari Carolina Utara menuju Hawaii membutuhkan waktu terbang sekitar 12 jam dan berganti pesawat 3 kali. Berangkat dari Fayetteville pukul 10 pagi, tiba di Atlanta 11.15. Transit dua jam, lalu terbang lagi menuju Los Angeles. Karena kita berjalan menuju arah barat dan selisih waktu antara kedua kota tersebut 3 jam maka ketika mendarat di Los Angeles waktu masih menunjukkan pukul 3 sore walaupun lama penerbangan kami hampir 5 jam. Penerbangan menuju Honolulu dijadwalkan pukul 8 jadi kita harus menunggu cukup lama. Dalam perjalanan itu rombongan kecil kami yang beranggotakan 4 orang Indonesia awalnya berencana mampir ke pusat kota L.A. Akan tetapi setelah kita hitung-hitung ternyata kita hanya punya waktu di kota tak lebih dari satu jam sehingga kemudian kita putuskan untuk berada di sekitar bandara saja.
Bandara International Los Angeles bukan termasuk salah satu bandara terbaik di dunia. LAX (kode untuk Los Angeles International Airport) masih kalah peringkat dibanding bandara Changi, Singapura atau Incheon, Korea Selatan. Tetapi lebih baik kalau dibandingkan dengan bandara Soekarno-Hatta, Indonesia.
Bandara International Los Angeles bukan termasuk salah satu bandara terbaik di dunia. LAX (kode untuk Los Angeles International Airport) masih kalah peringkat dibanding bandara Changi, Singapura atau Incheon, Korea Selatan. Tetapi lebih baik kalau dibandingkan dengan bandara Soekarno-Hatta, Indonesia.
Setelah berjalan sekitar 300 meter dari terminal kedatangan menuju terminal pemberangkatan, kami bermaksud untuk melaksanakan sholat dhuhur dan ashar. Kami semua sudah berniat untuk melakukan jama’ ta’khir. Begitu kami menemukan tempat yang nyaman, kami mencoba menengok kesana kemari siapa tahu ada musholla. Karena ternyata kami tidak menemukannya maka tidak ada masalah jika kami sholat di lantai ruang tunggu penumpang. Toh lantainya yang ditutup dengan karpet kelihatan sangat bersih. Tetapi yang menjadi masalah kemudian adalah kami tidak tahu arah kiblat. Kami bertanya kepada beberapa orang disana mana arah barat atau timur namun rata-rata mereka tidak yakin dengan jawabannya. Maka kami akhirnya berijtihad untuk menentukan arah kiblat sendiri. Ternyata dari kami berempat hanya dua orang yang sependapat. Sedangkan yang lainnya memiliki pendapat sendiri-sendiri. Saya dan satu orang teman meyakini kalau arah tempat parkir pesawat adalah arah yang tepat. Sementara teman satu lagi merasa kalau membelakangi tempat parkir adalah yang benar dan yang lain ke arah samping parkir. Jadilah kami sholat menghadap ke arah kiblat sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kami sepakat untuk tidak sepakat.
Selain perbedaan itu, agar tidak terlalu menarik perhatian, kami melakukan sholat sendiri-sendiri tidak berjamaah. Ada salah satu teman kami yang ketika melakukan niat sholat memerlukan konsentrasi lebih. Sambil mengangkat tangan dia memejamkan matanya beberapa saat hingga tangannya terlipat dengan benar di atas perutnya bagian atas. Jika ada orang yang melihat dan tidak tahu apa yang sedang dia lakukan maka orang itu sangat mungkin beranggapan bahwa dia sedang menahan rasa tidak nyaman. Dan itulah yang terjadi. Ketika giliran dia untuk sholat, ada sepasang suami istri yang duduknya kebetulan tepat mengarah kepadanya. Ketika dia mulai mengangkat tangan sambil memejamkan mata lalu memegang perutnyam pasutri itu terkejut melihatnya tetapi belum bergerak dari tempatnya. Saya lihat mereka berbicara satu sama lain sambil menunjuk ke arah teman saya yang sedang sholat tersebut. Ketika ruku' pasutri ini bangkit dari tempat duduknya dan mendekati teman saya itu sambil bertanya "Are you okay..? Shall I get help for you?" (Apakah anda baik-baik saja? Apa perlu saya carikan bantuan untuk anda?). Segera saya mendatangi mereka dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Pada awalnya mereka agak ketakutan mengetahui kalau kami adalah orang Islam. Dan baru setelah mendengar penjelasan saya tentang agama Islam yang kami anut suasana sedikit mencair meskipun saya melihat mereka berdua tidak sepenuhnya mempercayai apa yang saya sampaikan. Mereka mengetahui tentang Islam hanya melalui berita dan hampir kesemuanya tentang orang-orang Islam yang disebut oleh media melakukan tindak terorisme.
Beberapa hari sebelum kejadian itu saya pernah membuat angket dengan responden 100 siswa kelas 12 di Carolina Utara. Memang hasil angket saya tersebut tidak bisa dibuat patokan yang mewakili masyarakat Amerika secara umum. Tetapi hasil yang saya dapat sangat mengejutkan. Dari sekian pertanyaan salah satu diantaranya berbunyi "Apa yang terlintas di pikiran anda ketika mendengar kata Islam atau Muslim". Untuk pertanyaan ini, hanya sekitar 30% saja yang menjawab kurang lebih "Islam adalah sebuah agama". 30% menjawab teroris. 30% menjawab antara Asia, Timur Tengah atau Arab. 10 % sisanya menjawab "have no idea" atau berarti tidak tahu sama sekali.
Wah, jadi teringat saat transit di LA airport dalam perjalanan menuju Indianapolis. Menarik ceritanya, Ustadz. Ini juga terjadi saat kita di Incheon dulu. Sholat menghadap kiblat sesuai keyakinanannya sendiri-sendiri.
ReplyDeleteHello Ustadz Chusnu.... waktu ternyata berjalan dengan sangat cepat, ya..?
ReplyDeletePerbedaan jadi selalu indah jika kita menyikapi dengan dewasa. Tuhan memang menciptakan manusia dengan perbedaan biar dunia ini menjadi berwarna. Maka perbedaan juga menjadi ciri syariat Islam. Yang disayangkan banyak orang terlalu fanatik dengan keyakinannya sehingga menganggap orang yang berbeda dengannya telah melakukan kejahatan.
Kenapa tak bawak kompas kiblat. Kan lebih tepat.
ReplyDeleteAndai saja terpikir untuk membawa kompas kiblat, tentu tak akan ada masalah. Dan tentunya takkan ada cerita..... :)
Deletemakasih atas kunjungannya