Friday, February 3, 2023

BAYANG-BAYANG ILUSI

 

 

BAYANG-BAYANG ILUSI

Oleh : Miwa 3 Tsanawiyah A

 

Semua dimulai dari seorang pemuda tampan penuh kejujuran, bernama Kozen -atau demikianlah teman-teman memanggilnya- yang sedang berkutat dengan lembaran-lembaran berisi penuh coretan tinta, mengais ilmu diiringi bisikan lembut angin sehingga membuat suasana sangat syahdu.  Di bawah pohon rindang ia bersandar ditemani seekor kucing oyyen kesayangannya yang bernama Shinji. Bunga-bunga yang bermekaran demi menerima kerlingan hangat sang pujaan hati matahari perkasa menari-nari terkena goyangan ekor Shinji. Di tengah kesibukan Kozen, sesekali ia menggelitik perut berbulu anak berkaki empatnya itu. Shinji yang “mendengkur” keras mengasah kuku di batang-batang pohon sambil bergulingan, melompat, berputar kemudian menggesek-gesekkan pipinya ke kaki Kozen.

            Tanpa terduga sama sekali, tiba-tiba saja seekor kucing putih odd eyes melenggok di depan mereka, menjatuhkan kalung yang dipakainya. Kozen si paling jujur yang melihat kejadian itu segera memungut benda tersebut lalu berniat memasangkannya kembali ke si pemilik sebenarnya.

Sebenarnya ia bisa saja berpura-pura tidak melihatnya atau membiarkan kalung itu disana. Tapi tidak! Di samping Kozen pribadi yang jujur, kalung itu bukanlah kalung biasa tetapi berwarna emas dengan kilauan perak dan berbandul batu ruby merah menyala.

“Orang sinting mana yang memakaikan kalung seindah ini ke kucing peliharaanya?”, batin Kozen.

            Saat si kucing mau dipegang, dia langsung menghambur pergi seperti ketakutan seakan melihat hantu bertaring panjang mau menerkam. Tanpa perintah, Kozen langsung mengejar.

“Hei tunggu!”, teriak Shinji.

“Kau lambat! Kejar aku jika kau bisa”, jawab Kozen dengan napas tersengal.

“Gendong aku”

“Tidak, kau berat!”

“Astaganaga….”, jerit Shinji mencak-mencak.

Kira-kira 300-meter sudah Kozen mengejar dari tempat kejadian perkara, terengah-engah Kozen mendongak keatas, mendapati kucing cantik itu bertengger rapi di atas pohon. Shinji yang tertinggal merasa sangat terkhianati oleh Kozen. Dengan berapi-api, dia meneriaki Kozen yang sedang memanjat pohon.

“Kozen! Apa yang sedang kau lakukan? Untuk apa kau sampai memanjat seperti itu? Biarkan saja dia!”

“Tidak bisa, kalungnya ini terlalu berharga untuk dibiarkan begitu saja. Harus dikembalikan”

Rasa jengkel Shinji makin menjadi-jadi, ia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah sembari memaki.

“Hey kau! Kalau pintar jangan kau ambil sendiri. Otak mu kau jual ke warung Padang kah? Ayolah kawan.. Itu hanya seekor kucing. Buat apa pula kau sampai susah payah mengejar dan memanjat?”

Belum selesai Shinji memaki, nasib naas menimpa Kozen. Semesta tidak berkehendak keberuntungan berpihak kepada Kozen rupanya. Kozen menginjak ranting rapuh kemudian terjatuh dengan dramatis.

“Aaaaaa……!!!!!!”, jeritnya.

Kozen memang jatuh, tapi tidak ke bawah. Lantas kemana dia terjatuh? Sedangkan Shinji dari jarak 1-meter hanya bisa menjadi saksi bisu Kozen dan si kucing bermata indah yang raib bersamaan dengan kepulan asap belerang.

           

***

 

            Pertama-tama yang keluar dari mulut kozen adalah kata “Aduh”. Kozen kebingungan. Lalu dia bertanya-tanya dalam hati, “di mana aku? Apakah ini surga”.

“Tidak. Ini bukan surga”, batinnya sambil meraba benjolan lebam sebesar koin di pundaknya. “Dimana kucing itu?”

Di antara usaha Kozen mencerna apa yang tengah terjadi, matanya menangkap pemandangan luar biasa menakjubkan menggetarkan jiwa raga. Mulai dari langit yang berwarna hijau, awan kuning berbentuk kotak, rumah-rumah berwarna merah jambu dengan polkadot warna hijau neon, hingga hewan peliharaan di setiap rumah yang berkepala ikan, berkaki dua seperti kaki sapi dan mengeluarkan suara seperti babi.

Penampakan tidak biasa seperti itu sudah cukup membuat Kozen merasa sangat bodoh nan linglung. “Mana ada hewan seperti itu? Hey! apakah itu ayam?”

Kozen terduduk lemas. Perasaannya serasa terpukul oleh penggaris besi. Sekonyong-konyong ia melihat kucing putih melompat di depannya. Seperti tertampar kenyataan, ia langsung berdiri lalu lanjut mengejar.

Drama kejar-kejaran terus berlanjut. Kozen mengejar dan mengejar. Melewati apartemen-apartemen berbentuk kaktus, melewati hutan belantara dengan jamur-jamur setinggi 20 kaki di dalamnya, menerjang sungai, melompati badai…. Ya, melompati badai. Badai-badai di sana berbentuk segitiga dan sebesar kepalan orang dewasa.

Kozen terlalu rajin rupanya. Dia sampai tidak sadar bahwa selama ini, semakin ia mengejar justru yang terjadi malah semakin jauh tujuan yang dikejarnya.

“Tunggu! Dimana aku!”

Adalah pekikan Kozen sambil melotot tatkala melihat pemandangan agak sedikit terlihat seperti kurang menyenangkan di depan matanya. Suasana terasa mencekam. Tak ayal bulu kuduk Kozen berdiri tegak seperti keadilan. Udara keruh, kabut dimana-mana. Makhluk-makhluk hijau dengan kerlingan merah menyorot, berkejaran di bola mata Kozen. Hidung panjang. Pentungan besar. Tidak salah. Goblin.

Tangan panjang terulur, jari-jemari menjamah salah satu sisi baju Kozen. Jantungnya serasa mencelos, Kozen tersungkur di balik semak-semak terdekat.

“Hai gadis kecil. Apa yang kau lakukan disini?”

Sapa seonggok daging bertulang belakang. Ia mengenakan topi seperti milik pesulap lokal dengan hiasan mawar merah besar di puncaknya.

“Aku laki-laki”, jawab Kozen singkat.

“Oh, iya kah? Lantas mengapa engkau memakai rok bunga-bunga?” Kernyitan terlukis jelas di dahi pria itu.

“Ini sarung batik. Laki-laki ataupun perempuan bebas memakai sarung motif apapun!”

“Oh, benarkah?”

“Jangan ganggu dia Max!”

Seorang pria tinggi bersepatu kulit muncul, pria bertopi yang dipanggil Max itu menjauh dari Kozen kemudian menghambur dibalik punggung pria bersepatu kulit itu.

“Perkenalkan anak muda, namaku Jack dan ini Max. Kau terlihat sedang tersesat. Kami tau kau sudah jelas bukan orang sini. Mari, ikut bersama kami. Kami akan menjamu dirimu di gubuk kecil kami untuk minum teh”

 

***

 

            Jack, Max dan Kozen berjalan beriringan mengajak Kozen yang malang untuk menjauh dari daerah perbatasan para-Goblin demi kebaikannya. Di perjalanan, sepasang mata Kozen menangkap penampakan seorang wanita cantik bersepatu kaca. Lantas, ia bertanya siapa dia. Kemudian Max menjawab sambil tertawa sampai gigi gerahamnya terlihat.

“Menurutmu? Siapa lagi perempuan bersepatu kaca kalau bukan Cinderella?”

“Tidak masuk akal! Cinderella pergi ke pasar naik becak? ada-ada saja kau ini?” sanggah Kozen.

“Tidak-tidak. Dia tidak mau pergi ke pasar. Dia mau melayat ke rumah 3 babi kecil”, timpal Jack.

“Saus tar-tar! Apa yang terjadi pada 3 babi kecil sobat?”, pekik Kozen parau.

“Benar Jack. Apa yang terjadi pada 3 babi kecil?” Max ikut bertanya.

“Jangan bilang kau tidak tau Max. Si serigala. Serigala tua, Max! Dia mati kaku di depan rumah 3 babi kecil”, jelas Jack.

“Bagaimana bisa? Siapa yang berhasil membunuhnya?”, lolong Max.

“Tidak ada yang membunuhnya. Dia mati terkena serangan jantung”

“Serigala?! Terkena serangan jantung?! Lelucon macam apa lagi ini?”, potong Kozen.

“Siapapun bisa terkena serangan jantung. Terutama si serigala tua itu. Dia terlalu banyak mengkonsumsi daging dengan lemak jahat dan kolesterol tinggi. Seperti kambing dan babi. Dia terkenal suka sekali makan makanan berlemak, merokok, minum-minuman beralkohol, tidak pernah olahraga, terlalu banyak pikiran negatif, temperamental, mudah tersinggung, begadang dan jarang mandi. Pecinta olahan santan terutama gulai seperti itu tidak membuatku heran jika didapati tergeletak tewas begitu saja didepan pintu rumah seseorang saat ingin bertamu”, oceh Jack panjang lebar.

“Hmmm… dari semua yang kau katakan temanku, kurasa penyebab utama dia terkena serangan adalah darah tinggi, kolesterol, kerusakan pada hati dan juga asam lambung. Aku menyebutnya dengan komplikasi”, timpal Max.

Kozen mengangguk petanda sudah dapat mencerna keadaan dan semua yang telah terjadi padanya. Mau tidak mau dia harus cepat beradaptasi dan sok kenal sok dekat disini, minimal agar nyawanya tidak terancam.

 

***

 

            Kozen, pria bersarung dengan songkok gagah bertengger di kepalanya sedari tadi hanya bisa terkagum-kagum atas semua pemandangan yang ada. Sepasang matanya tidak berhenti terbelalak. Jantungnya berdegup kencang. Bibir tipis semerah delima ranum itu sedari tadi terus-terusan komat-kamit sepanjang jalan.

“Masyaallah! Apakah itu anjing?”

“Allahu Akbar! Telinga kelinci itu besar sekali…”

“Segala puji bagi Allah, Tuhan yang Maha Esa pencipta alam semesta!” Yaa… kira-kira seperti itulah kalimat yang terlontar dari mulutnya.

“Jika ada yang ingin kau tanyakan, tanyakan saja nak. Ngomong-ngomong apa yang membuatmu sampai bisa kesini?”

“Aku kurang mengerti secara pasti. Seekor kucing putih lewat di depan ku kemudian…”

Kozen menjelaskan apa yang terjadi.

“Ahh.. baru ini aku mendengar ada kucing seperti itu. Tapi kau bisa bertanya pada Max. barangkali dia pernah mendengar atau melihatnya”, timpal Jack mengangguk-angguk.

“Aku tidak tahu”, gumam Max. “Tapi… tunggu. Kau bilang warna matanya berbeda? Sepertinya aku tahu. Aku dengar dia kucing yang tidak baik. Saranku kau pulang saja lalu jual kalung itu”, sambung Max dengan mulut penuh kacang.

“Jika Max berkata demikin. Maka demikian”, kata Jack.

“Aku tidak bisa menjual barang yang bukan milikku begitu saja tanpa dosa. Aku sudah terlanjur mengejar sampai sini! Jangankan untuk pulang, berada dimana saja aku tidak tau”

Jack dan Max saling menatap. Kemudian mereka tertawa.

“Kau ini kenapa? Aneh! Dungu atau bodoh? Ya ini kami akan menjamu dirimu sekalian menunjukkan arah jalan pulang. Kami yakin kau masih terkaget-kaget lantaran hampir terkena pentung om-om goblin.”

“Ngomong-ngomong soal kau berada dimana, aku kesulitan untuk membuatmu cukup mengerti”, kata Jack.

Dan Max lalu menimpali, “Selamat datang di portal isekai tanpa ujung. Aku sendiri kurang mengerti kenapa bisa portal itu terbuka lagi. Tapi sudahlahlah. Que sera sera. Yang akan terjadi biarlah terjadi”

 

***

 

            Gubuk Max dan Jack tidak mencerminkan rumah sama sekali. Berbentuk segi enam dicat warna coklat dengan dua cerobong asap, lima pintu dan tiga jendela. Agak aneh tapi tidak masalah. Terdapat pula patung setinggi dua meter berbentuk seperti kecoa berada tepat di sisi kiri setiap pintu.

Tapi begitu masuk ke dalam gubuk, semua tampak normal. Terlalu normal sampai melenakan diri sedang berada di alam lain.

Max menyodorkan secangkir teh pada Kozen. Kozen menelan ludah. Teh yang konon katanya adalah teh paling enak seantero alam semesta terlihat sangat meragukan. Tehnya berwarna biru pekat dan bau seperti karpet basah.

Sementara Jack memutar Gramofon (alat pemutar piringan hitam zaman dahulu). Semula samar-samar lalu semakin keras terdengar nyanyian seorang wanita yang suaranya melengking tinggi, “Haruskah ku hidup dalam angan angan. Merengkuh ribuan impian. Haruskah ku lari dan terus berlari. Kejar bayang-bayang ilusi. Bayangan ilusi. Hanya fantasi. Bayangan ilusi.”

Jack lalu bertanya pada Kozen, “apa yang kamu impikan saat ini?”

“Aku ingin pulang”, lirih Kozen hampir menangis.

Otak mungilnya sudah tidak sanggup lagi menerima ketidak masuk akalan ini.

Jack berkata, “Iya iya.. Ini kami akan memberi tau dirimu jalan pulang. Pertama, kau hanya perlu berjalan lurus tanpa menoleh kebelakang. Jika kau menemukan jalan berwarna kuning, ikuti saja terus dengan masih tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Dan dengan berakhirnya jalan, maka engkau akan sampai rumah.”

Kozen mengangguk.

“Tapi sebelum keluar dari rumah ini kamu harus mengingat baik-baik syair dari lagu yang aku putar itu. Sebab itu merupakan kunci dari pintu keluar.”

“Baiklah, aku akan ingat. Tapi bolehkah aku tau siapa nama penyanyi wanita itu?” Jawab Kozen.

“Anggun si pemimpi yang takut mengejar bayangan ilusi. Ia bernyanyi untuk mengingatkan diri jangan berpijak pada emosi saat berlari.”

“Maksudnya?”

“Ketika bayangan ilusi datang, apapun bentuknya, jangan dikejar. Kita cukup menyadari bayangan yang ada, dan berada di dalam kesadaran tersebut. Inilah titik awal yang berada sebelum segala pikiran dan emosi muncul. Di dalam titik ini, kita akan menemukan kejernihan dan kedamaian.”

“Aku masih tak mengerti.”

“Kau tak harus mengerti semua hal. Kalau kau mau pulang, yang perlu kau lakukan hanyalah berjalan lurus tanpa menoleh kebelakang. Jangan pernah menoleh ke belakang, dan jangan bertanya kenapa!”

 

                                                                                    ***

 

            Setelah berjalan sekian lama, akhirnya Kozen sampai di sebuah tangga spiral yang terlihat berakhir pada cahaya yang terang benderang. Ia tertegun melihat ada tujuh kurcaci yang menari-nari di tangga awal hingga tangga ke tujuh.

“Permisi numpang lewat…”

“Jawab pertanyaanku dan kamu boleh lewat. Kau tak akan pernah mampu mengejarnya walau ia berdekatan denganmu,” kata kurcaci yang berada di tangga pertama.

Kozen menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lalu teringat lagu yang ia dengar di rumah segi enam. “Bayangan ilusi”, jawabnya.

“Bravo…! Engkau tak akan akan mendapat kemuliaan tanpa mau melakukan kebajikan. Sebab Kemuliaan itu mengikuti kebajikan seolah-olah itu adalah bayangannya. Fokuslah untuk berbuat baik, dan engkau akan mendapatkan kemuliaan.” kurcaci itu kemudian melompat dan memberi hormat pada Kozen lalu mempersilahkan lewat.

Di tangga kedua kurcaci lain menghadang lalu dengan serius bertanya, “Sesuatu yang tampak nyata dan ada, tetapi sebenarnya tak ada. Jika kau kejar ia akan berlari, bila kau palingkan diri ia akan berbalik mengejarmu. Apa itu?”

“Bayangan kita sendiri.”

Marvelous…! Jangan takut mengambil sikap saat melangkah menuju kesuksesan. Sebab ketakutan seringkali memberikan bayangan besar pada hal kecil.” Kurcaci kedua membungkuk lalu menyigkir.

“Orang yang tak bisa move on, tak berhenti menyesali kegagalan, sama seperti orang yang mengejar sesuatu. Semakin dikejar, semakin jauh dari jalan keluar. Apa sesuatu itu?,” tanya kurcaci ketiga.

“Bayangan kita sendiri”

“Mantap…!” teriak si kurcaci ketiga pergi meninggalkan tangga sambil menggumam, “orang yang tak berani mengambil keputusan meninggalkan masa lalu yang tidak menyenangkan maka ia akan berputar dan berjalan di tempat. Ha ha ha …”

Di tangga ke empat, kurcaci yang paling kecil berkata, “Orang yang hanya bermimpi tapi tak pernah berusaha mewujudkan mimpinya, maka ia seperti orang yang hidup dalam…..?”

“Bayangan ilusi!”

Tak berkata apa-apa, tiba-tiba saja kurcaci kecil itu lenyap dari pandangan mata.

“Kalau kau menghafal hanya menambah dan tak mengingat yang sudah lewat, maka engkau seakan melupakan … ?”

“Bayangan sendiri”

It's true!”, kata kurcaci di tangga lima itu sambil menari dan pergi. Tapi tiba-tiba dia berbalik dan berteriak di muka Kozen, “melupakan masa lalu adalah kebodohan. Jangan pernah melupakan masa lalu, tapi jangan sampai terkurung di dalamnya”

Kurcaci berikutnya kelihatan sudah uzur dan lemah.  Dengan lirih, ia berkata, “selama orang berada dalam cahaya, maka orang itu akan memiliki sisi gelap. Apa sisi gelap itu?

“Bayangan”

"Benar! Setiap orang yang masih berada dalam cahaya yang artinya masih hidup, pasti ia memiliki sisi gelap. Namun jika ia menghadap ke arah cahaya, maka sisi gelap akan berada di belakangnya. Jika seseorang menatap masa depan dengan optimis, maka tak ada bagian gelap yang menghalangi jalannya." Selesai berkata demikian, kurcaci itu berjalan menjauh.

Di tangga ke tujuh, Kozen di hadang oleh kurcaci bertubuh tambun. Pipinya chubby perutnya buncit sehingga perawakannya yang memang pendek nampak menjadi bulat seperti bola. Dengan suaranya yang kecil melengking ia bertanya pada Kozen, “Ia selalu di dekatmu saat terang, tapi ia tidak terlihat saat di kegelapan. Apa itu?”

“Bayangan”

“Tepat sekali. Demikianlah perumpamaan sahabat palsu. Mereka selalu di dekatmu saat terang, saat senang, tapi mereka tidak terlihat dimanapun saat gelap, saat terjatuh dan kesusahan. Berbahagialah ia yang memiliki sahabat sejati.” Kurcaci gendut memegang tangan Kozen dan seketika ia berada dalam cahaya yang sangat terang dan ia tak ingat apa-apa lagi.

 

***

 

            Saat tersadar kembali, Kozen terduduk di tanah. Jantungnya berdegup kencang menandakan dia masih hidup. Secara utuh tanpa cacat sedikitpun ia memegangi kepalanya yang terasa pening luar binasa.

Meong.. Ngaong ngaong..”

Tersentak kaget setengah sadar, Kozen kembali mendapati dirinya sedang duduk di bawah pohon besar ditemani seekor kucing bernama Shinji yang jelas tidak bisa berbicara, menjilati ekornya kemudian mencakar sarung Kozen.

“Aku dima..” Belum selesai Kozen berucap, adzan Maghrib berkumandang membuat Kozen sontak berdiri lalu berlari pulang.

“Itu semua cuma mimpi. Iya kan Shinji”, guman kozen sambil berlari.

            Yang tanpa dia sadari, kalung emas dengan kilauan perak berbandul batu ruby merah menyala, terselip rapi di saku baju Kozen.

                                                                                    ***

           

No comments:

Post a Comment