Thursday, April 24, 2014

Terdampar

Salman membuka mata.  Sinar matahari menghantam penglihatannya dan memaksa dia menggunakan telapak tangan untuk melindungi diri dari silau cahaya. Sakit yang luar biasa ia rasakan di lengan bagian kanan sehingga ia kehilangan kontrol gerakan. Tanpa sengaja Salman menampar wajahnya sendiri. Plok!. "Auw!" Pasir yang menempel di wajahya beterbangan. Perlahan-lahan dia duduk sambil menekuk kaki. “Dimana aku?”, tanyanya dalam hati. Dengan tangan kiri ia membersihkan pasir yang masih menempel di mulut, rambut dan pipi. Ia mendapati dirinya di tengah hamparan pasir putih yang membentang bagaikan permadani. Air laut melambai-lambai diikuti suara ombak yang datang silih berganti. Angin berhembus pelan menyapa. Sekumpulan burung terbang di angkasa melintas di atas kepala. Seakan mereka berkata “Selamat datang, kawan”. Salman merasa ia berada di surga. “Apakah aku sudah mati?” Ia menoleh ke belakang. Dominasi warna hijau tumbuhan segera memanjakan mata. Daun-daun nyiur yang banyak tumbuh disana bergoyang sesuai irama angin seakan melambaikan tangan mereka. Kedamaian dan ketenangan menghinggapi hati dan perasaannya. “Inikah surga?”, gumam Salman berusaha mengenali tempat ia berada. Ketika hendak berdiri, ia merasakan kepalanya berat sekali. Lalu ia teringat sebuah keterangan yang pernah ia dengar bahwa di surga tak ada rasa sakit, tak ada luka. Dia memeriksa lengan kanannya yang memar dan sedikit bengkak. Kejadian yang telah ia lalui mulai tergambar jelas. Kemudian ia menjatuhkan diri bersujud di atas pasir sambil menangis. "Terima kasih ya Allah...! Engkau telah selamatkan aku dari kebinasaan. Terima kasih". 


Satu tahun terakhir ini Salman bekerja di sebuah kapal dagang asing yang bernama Frederick XV. Sudah satu tahun ini pula dia tidak menjejakkan kaki di bumi pertiwi. Banyak negara yang telah ia kunjungi. Bahkan berapa jumlahnya ia tak ingat lagi. Kerinduan akan tanah kelahiran hampir-hampir tak terkendali. Maka ketika ia diberitahu kapten Frinz -pemegang otoritas tertinggi di kapal- bahwa perjalanan berikutnya adalah Afrika Selatan-Indonesia, betapa ia senang bukan kepalang. Ia akan mendapatkan kesempatan pulang. Di sepanjang perjalanan, kampung halamanlah yang selalu terbayang. Ia berteriak dengan girang "Indonesia, aku datang..."

Namun untung tak dapat diraih, malang ta bisa ditolak. Nasib manusia, Tuhan yang menentukan. Pada suatu hari dan kapal masih jauh di tengah Samudera Hindia, Salman merasakan firasat yang tidak enak. Sejak pagi langit tetutup awan tebal. Sebenarnya hujan, angin dan badai bukan hal luar biasa bagi seorang pelayar. Salman sendiri sudah sering menyaksikannya. Tetapi hari itu sepertinya ada yang berbeda. 

Menjelang tengah hari, hujan turun dengan deras diiringi petir yang menyambar-nyambar tanpa jeda. Angin menderu kencang menyebabkan gelombang ombak besar yang mengombang-ambingkan kapal. Kapten mematikan mesin dan memberi peringatan kepada seluruh anak buahnya, "Semua awak kapal Frederick XV dimohon untuk waspada. Kemungkinan kita akan menghadapi badai yang cukup besar. Semuanya agar berhati-hati. Terima kasih"

Tak berselang lama angin berhembus semakin besar dan gelombang semakin mengganas. Kapal bergoyang kesana kemari. Tanpa diduga, tiba-tiba dan begitu saja cahaya terang datang menerjang. "Duarrr!". Seperti cemeti raksasa, petir menghantam badan kapal dan meninggalkan kobaran api yang cukup besar. Kapal terguncang. Kapten Frinz kembali berteriak , "Semua awak diperintahkan untuk secepatnya naik ke atas sekoci dan meninggalkan kapal. Api telah menjalar ke tempat penyimpanan bahan bakar dan kapal akan meledak! Bertindak sekarang!"  

Semua awak kapal termasuk Salman berebut keluar menuju perahu-perahu kecil yang tergantung di sisi-sisi kapal. Suara teriakan terdengar disana-sini. Mereka berpacu dengan maut yang sewaktu-waktu dapat datang menjemput. Sebagian telah berada di atas skoci dan tinggal melepas tali maka mereka akan meluncur ke laut lepas. Tapi terlambat, lidah api telah menjangkau tumpukan drum berisi bahan bakar. "Bloom!" ledakan dahsat tak terhindari.  Manusia dan barang-barang berhamburan kemana-mana. Salman terlepar ke udara sebelum jatuh ditelan laut yang seakan sedang murka. Tak ada yang bisa diperbuat. Salman berusaha untuk melawan dengan berenang sekuat tenaga tetapi dia tahu itu tak berguna. Dia merasa kematian dan kebinasaan sangat dekat dengannya. Maka satu-satunya yang ia lakukan kemudian adalah memasrahkan dirinya kepada Tuhan yang ia percaya, Allah yang Maha Perkasa. "Allahu Akbar... Allahu Akbar", hanya dua kata itu yang sanggup ia ingat. Sekonyong-konyong dia melihat sepotong kayu meluncur didepannya. Tanpa berpikir dia merengkuh kayu itu dan memeluknya  erat-erat sambil terus berdoa, "Allahu Akbar, Allahu Akbar". Entah akan berapa lama dia mampu bertahan dia tak lagi memikirkan. Sepenuhnya ia melepaskan dirinya pada Tuhan.
Setelah sepenuhnya menguasai diri , Salman berjalan ke arah hutan untuk mencari air. Kerongkongannya terasa kering kerontang. Dia tak henti-henti memanjatkan puja dan puji syukur  pada Tuhan. Syukur merupakan bentuk pengakuan atas pemberian yang seseorang dapatkan. Dengan syukur, seseorang itu akan merasakan bahwa dirinya masih membutuhkan pertolongan dan memiliki kelemahan. Jika seseorang masih membutuhkan bantuan maka kesombongkan dengan mudah dapat disingkirkan. Dan ketika kesombongan tidak lagi bersemanyam, selanjutnya yang datang adalah penerimaan. Penerimaan atas apa yang ia terima, yang ia punya, keadaan yang ia rasa dan juga ketetapan Tuhan atas dirinya. Jika seseorang menerima dengan sepenuh jiwa pada qadho’ dan qodar Tuhan, maka saat itu dia tidak akan pernah berputus asa. 

Setelah berjalan beberapa saat, tak sesulit yang ia kira, Salman menemukan air tawar. Kira-kira jarak satu setengah kilo meter dari pantai ada sebuah mata air yang cukup besar dengan air jernih yang menyegarkan. Selesai membersihkan diri dan memuaskan dahaga, Salman teringat kayu yang ia gunakan untuk bertahan melawan ombak hingga akhirnya terbawa arus sampai ke daratan. Di kayu itu ada plat besi yang menempel. Dia perlu sebilah pisau atau pedang untuk membuat tempat tinggal dan mungkin perahu atau paling tidak untuk menjaga diri dari apapun yan mungkin terjadi.

Dia teringat novel kuno yang pernah ia baca tentang perjalanan Robinson Crussoe yang terdampar di sebuah pulau terpencil yang berpenghuni manusia primitif pemakan daging manusia. Sedikit rasa khawatir menghampirinya. Lalu ia bergegas kembali ke tempat ia tadi terbangun. Tidak butuh waktu lama, ia berhasil menemukan kayu tersebut. Salman kemudian menariknya ke pingggiran hutan. Ia mengumpulkan kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Ia tak bisa melepas plat besi yang menempel di kayu begitu saja. Ia harus membakarnya. Salman mengambil rumput dan daun kering juga sebatang ranting kering dan beberapa batu kerikil untuk membuat api. Teknik membuat api dengan cara gesekan ini ia dapatkan ketika ia mengikuti program kepanduan sewaktu sekolah dulu. Dan beberapa saat kemudian Salman berhasil menyalakan api yang kemudian ia pergunakan untuk menempa besi untuk bisa dijadikan semacam parang. Selain itu dia berharap dengan api yang ia nyalakan mungkin bisa menarik perhatian kapal yang kebetulan lewat.

Salman sebenarnya ingin berkeliling memeriksa pulau untuk mengetahui apakah ada manusia lain yang tinggal disana atau tidak. Namun hari sudah mulai gelap sehingga dia menunda rencanya itu untuk esok pagi. Selesai membuat tikar dari anyaman daun kelapa, Salman mengikuti aliran mata air yang membentuk sungai kecil hingga ke muara. Seperti yang ia duga, jenis ikan tetentu pada sore hari akan banyak mengumpul di sana. Salman mengayunkan parangnya ke arah gerombolan ikan itu dan dengan mudah ia berhasil menangkap 2 ekor. Setelah mendapatkan sekitar 10 ekor ikan sebesar telapak tangan anak kecil, Salman kembali ke tempat perapiannya.

Esok harinya Salman menyusuri pantai dan mengelilingi pulau. Dia tidak melihat tanda-tanda bahwa di pulau itu ada manusia lain yang tinggal selain dirinya. Selain burung ada banyak hewan seperti trenggiling, landak dan kelinci yang berkeliaran di semak-semak. Di bagian pantai yang lain ia bertemu dengan penyu-penyu yang datang ke pulau untuk bertelur. Tak ada hewan besar berbahaya yang perlu ia takutkan. 

Menjelang tengah hari ia sudah kembali lagi ke tempat semula. Untuk makan siang ia membakar telur penyu dan ikan serta minum air kelapa muda. “Alhamdulillah.....  aku tak punya alasan untuk tidak bersyukur kepadamu, ya Allah! Walaupun tak ada orang lain bersamaku saat ini, tapi aku yakin Engkau tak pernah jauh dariku” Salman berkata dengan suara keras sambil mengangkat tangan.

Hidup seorang diri memang sering membuat orang kesepian. Namun tidak selalu demikian. Kesepian adalah perasaan terasing yang dialami seseorang. Sesorang juga dapat merasa kesepian di tengah kerumunan orang. Dia bisa merasa sepi walau orang-orang yang ada di sekelilingnya sedang tertawa bergembira atau bersenang-senang. Hal itu terjadi karena ia merasa tidak terhubung dengan orang-orang di sekililingnya. Sedangkan kesendirian, apakah disengaja atau terpaksa, kadangkala bisa juga menyenangkan. Salman sendiri tidak merasa kesepian karena jiwanya selalu terhubung dengan Tuhan. Jadi sebenarnya kesepian tidak perlu terjadi jikalau seseorang itu memiliki keterikatan jiwa dengan sesuatu yang lain. Dan satu-satunya zat yang tak pernah hilang adalah Tuhan.
  
Hari terus berlalu, minggupun berganti bulan. Sudah enam purnama Salman berada di pulau yang entah apa namanya dan masuk wilayah negara mana, dia tidak tahu. Dengan menggunakan parang buatannya, Salman mendirikan gubuk sederhana. Dia juga membuat perahu atau lebih tepatnya rakit dari batang-batang pohon kelapa yang sejauh ini baru setengah jadi. Alat yang digunakan tak cukup memadai. Untuk memotong sebatang pohon kelapa saja dia membutuhkan waktu sedikitnya 3 hari. Namun keadaan itu tak pernah ia sesali. Sebagai manusia dia hanya bertugas untuk berusaha. Adapun hasil dari usahanya dia serahkan pada Allah. Inilah yang disebut tawakkal. Tawakkal berlaku ketika seseorang sudah berusaha dengan sepenuhnya. Tanpa ada usaha maka tawakkal tidak ada bedanya dengan putus asa. 

Suatu hari pada purnama ke tiga belas, rakit yang dibuat Salman sudah jadi. Layar yang terbuat dari rajutan kulit kelinci juga sudah siap mengembang. Bekal ikan dan daging kering sudah dimasukkan ke dalam rakit. Gentong air yang terbuat dari cangkang penyu besar juga sudah terisi dan tertata rapi di rakit bagian depan. Pagi itu langit terang dan matahari tersenyum cerah. Angin juga bertiup cukup kencang. Waktu yang tepat untuk berlayar. 

Tinggal satu bekal lagi yang Salman akan bawa yaitu buah kelapa muda. Karena buah kelapa yang ada disekitar pondoknya tak cukup banyak, maka dia memanjat pohon kelapa yang berjarak sekitar 2 km dari sana. Ketika dia sedang berada diatas pohon dan mulai memetik buah, tiba-tiba dia melihat asap tebal membumbung dari arah tempat tinggalnya. Awalnya dia tidak menghiraukannya karena api unggun yang ia buat memang ia jaga selalu menyala. Namun asap itu semakin lama semakin tebal. Lidah api sesekali nampak menjilat-jilat ke udara. Salman gugup. Lalu bergegas turun dan berlari sekencang yang ia bisa kembali ke gubuknya. Betapa terkejutnya Salman, gubuk dan rakit yang ia bangun lebih dari satu tahun lamanya menggeliat tidak berdaya didalam gulungan merah api yang menggila. “Ya Tuhan......kena...pa?” hampir tak bersuara Salman berkata. Kemarahan, kekecewaan, kesedihan dan rasa kehilangan menyatu dalam dada. “Kenapa Engkau renggut perahuku?” Salman ingin berteriak tapi kehilangan kata-kata. Ingin menangis tapi tak ada air mata. Ingin marah, tapi pada siapa. Pandangan Salman perlahan menjadi kabur, lalu gelap tak bisa melihat apa-apa. Tubuhnya jatuh ke belakang terlentang. Salman pingsan.
  
Ketika Salman membuka mata, dia melihat ada empat sosok manusia tinggi besar, berambut gondrong dan berjenggot tebal berdiri tepat di hadapannya. Spontan ia melombat berdiri dan mundur beberapa langkah ke belakang. "Siapa kalian?” tanyanya gemetaran.

Salah seorang dari mereka menjawab dengan datar nyaris tanpa expresi. “Bukankah anda yang mengirim pesan S.O.S pada kami? Kami melihat asap tebal dari pulau ini yang kami tahu tidak berpenghuni. Kami datang untuk menolong anda”

Mulut Salman menganga tidak percaya. Dia terduduk seakan kehilangan tenaga. Lalu dia bersujud di atas pasir sambil menangis, “Maafkan aku, ya Allah! Aku telah berburuk sangka pada-Mu. Ampunilah aku.... ampunilah....”

Perahu kecil itu merapat ke kapal besar yang telah menanti mereka. Kelima penumpang yang ada di atasnya segera naik dengan memanjat tangga yang terbuat dari tali. Tak lama kemudian suara mesin menderu dan kapal besar itu mulai bergerak maju. Salman menoleh ke belakang untuk terkahir kali dan berkata, ”Selamat tinggal pulau surgaku.... aku akan merindukanmu”  

No comments:

Post a Comment