Di perbatasan antara kabupaten Pati dan Jepara ada sebuah desa
kecil yang bernama Desa Kembang Arum. Desa itu terletak di dataran tinggi
antara gunung Muria dan dan gunung Celering.
Sebuah desa yang tenang dan kaya dengan keindahan alamnya. Jika berdiri di tempat yang terbuka menjelang
magrib, maka kita bisa menyaksikan matahari merah redup yang hendak pergi ke
belahan bumi lain dan meningggalkan kita dalam pelukan bulan. Pada saat yang
sama, jika menoleh ke kiri, kita bisa menyaksikan Gunung Muria yang megah dan
gagah sedangkan di arah kanan terlihat gunung Celering yang mungil nampak dari
kejauhan. Tak kalah menariknya, jika menoleh ke belakang, laut jawa akan
memamerkan pesonanya dengan airnya yang
berkilauan tertimpa cahaya matahari senja.
Pak Haji Salman saat ini berumur 69 tahun. Di lahir bersamaan
dengan hari kemerdekaan yaitu 17 Agustus 1945. Walaupun usianya tidak lagi muda
tetapi Pak Salman masih bisa melakukan semua kegiatan untuk keperluan
dirinya seorang diri. Pagi-pagi sekali setelah selesai solat Subuh dia sudah
menyapu rumah dan halaman. Setelah itu dia akan memasak air untuk membuat
secangkir kopi dan mandi. Sejak 3 tahun ini oleh dokter dia disarankan untuk
mandi air hangat yang katanya untuk menjaga kebugaran. Sambil menikmati
secangkir kopi, biasanya pak Salman mendengarkan radio RRI yang dari dulu
menjadi stasiun radio favoritnya. Walaupun dia memiliki sebuah pesawat
televisi, tetapi dia hampir tidak pernah menyalakannya. Dia tidak suka dengan
acara-acara TV yang menurut dia tidak mendidik dan kebablasan dalam hal moral.
Dia takut melihat acara infotainment yang isinya membicarakan urusan orang lain
bahkan tak jarang rahasia orang lain. Dia sedih melihat orang berjoget-joget
dan bercanda yang menurut dia sama sekali jauh dari pantas untuk ditonton
apalagi dilakukan. Dia heran dengan sinetron yang rata-rata tidak ada isi
berarti. Cerita yang asal-asalan, pemeran yang hanya jual ketampanan dan
kecantikan ataupun kisah tokoh sejarah yang dikisahkan jauh dari catatan
sejarah. Acara ceramah agama juga sangat sedikit yang menurut dia bermutu dan
layak ditunggu.
Sekitar pukul 7.30 pagi Pak Haji menanak nasi dengan magic
com. Nasi kemaren yang masih tersisa atau sengaja disisakan dicampur dengan
ikan pindang yang selalu dia beli khusus untuk makanan kucing peliharaannya.
Kucing jantan yang diberi nama Hirun itu sebenarnya tidaklah kucing yang
menggemaskan. Meski tiap pagi dan sore selalu diberi makan, masih saja ia
mencuri makanan tuannya jika ada kesempatan. Bulu Hirun yang berwarna
abu-abu dan hitam dengan kombinasi tidak beraturan ditambah kebiasaan mendesis
yang terlalu sering membuat ia memiliki kesan jauh dari lucu dan menyenangkan. Pun
demikian, Pak Salman sangat memanjakan kucingnya itu. Kadang-kadang kucing
nakal itu tidur di sajadah tempat imam di musholla. Tapi kalau ada orang yang
mencoba mengusir, pak Salman selalu melarang orang itu mengganggunya.
Selain kucing, Pak Salman juga suka memelihara burung. Dulu Pak
Salman pernah memiliki seekor burung perkutut. Namun burung yang bersuara merdu
hingga pernah ditawar orang dengan harga 10 juta rupiah itu telah mati diterkam
si Hirun. Sekarang dia mempunyai seekor burung beo yang merupakan hadiah dari
Pak Arismanto lurah desa Kembang Arum. Pak lurah seperti halnya kebanyakan
orang warga desa itu adalah salah satu murid yang waktu kecil mengaji di rumah
pak Salman. "Saya tahu bapak suka memelihara burung. Jadi burung beo ini
sebagai pengganti burung perkutut bapak yang mati" Kata pak lurah ketika
memberikan burung beo itu pada Pak Haji Salman.
Di rumah Pak Salman setiap malam Jum’at ada acara "Tahlil
Bersama" yang diikuti oleh warga dimana Pak Salman tinggal. Entah
bagaimana, dari sekian macam bacaan tahlil yang dibaca orang hanya satu bacaan
yang diingat dan fasih diucapkan oleh burung beo tersebut, yaitu kalimat “Laa
ilaaha illa Al-Allah”. Hal ini membuat Pak Salman sangat menyukainya.
Tak segan-segan dia memamerkan kemampuan burung beonya itu kepada siapa
saja yang kebetulan datang ke rumahnya. Diapun lalu memberi nama
burung itu dengan nama Tahlil sesuai dengan nama bacaan yang burung itu bisa
tirukan.
****
Sewaktu masih muda Pak Salman adalah seorang pedagang jengkol
dan petai yang sukses. Dia membeli jengkol atau petai ketika masih ada di pohon
lalu memanen dan menjualnya kembali. Pak Salman memiliki kemampuan luar biasa
dalam hal menaksir jumlah buah yang akan di hasilkan sebuah pohon. Dia
juga mampu memperkirakan pengaruh cuaca terhadap hasil panen dengan baik. Dari
hasil kerjanya itu, dia berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga menjadi
sarjana dan bersama istrinya berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Sejak Ibu Salamatun istrinya meninggal 3 tahun lalu,
sebenarnya anak-anaknya telah berulang kali meminta pak Salman untuk tinggal
bersama mereka. Anak pertamanya yang bernama Anta Salim tinggal di kota Jepara
dan bekerja sebagai hakim Pengadilan Agama. Anak keduanya perempuan yaitu Umi
Salmah tinggal tidak jauh dari desa Kembang Arum. Dia bersuamikan seorang kiyai
yang memiliki sebuah pesantren dan memiliki santri sekitar 700-an. Umi Salmah
sendiri adalah seorang hafidhoh (hafal -Al-Qur'an). Sedangkan
anak ketiganya yang bernama Kun Muslim menjadi guru agama di kabupaten Rembang.
Ketiga anaknya tersebut sudah menikah dan memiliki anak. Cucu pak Salman
semuanya sudah 10 orang. 3 dari anak pertama 3 dari anak kedua dan 4 dari anak
ketiganya.
“Kami
akan sangat senang kalau bapak bersedia tinggal bersama kami” kata Umi untuk
kesekian kali waktu lebaran kemaren.
"Jika tidak mau sama Umi, cucu-cucu bapak pasti akan bangga
sekali jika Bapak bersedia mengajari mereka ngaji setiap habis magrib", timpal
Salim.
"Atau di Rembang, pak? Disana dekat pantai. Jadi bapak bisa
merasakan suasana yang berbeda dengan di sini", sahut Kun tidak mau kalah.
"Aku tidak bisa meninggalkan kenangan 37 tahun bersama ibu
kalian ". Jawab pak Haji sambil tersenyum. "Lagipula, setiap habis
magrib masih ada anak-anak yang mengaji. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka.
Itu adalah rutinitas yang umurnya lebih dari setengah umur bapak sendiri"
Selama bertahun-tahun, Pak Salman adalah guru ngaji yang
terkenal sabar dan telaten menghadapi murid-muridnya. Selepas Asar adalah waktu
mengaji anak-anak yang masih belajar “turutan”. Turutan adalah Qa’idah
Bagdadiyah metode baca Al-Quran klasik yang telah digunakan selama
puluhan tahun atau bahkan mungkin ratusan tahun. Dan siapa penciptanya, tidak
diketahui. Sedangkan untuk selepas magrib, adalah waktu bagi anak-anak yang
mengaji Al-Qur’an. Tapi seiring dengan berkembangnya metode Al-Qur’an modern
dan maraknya TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) serta semakin bertambahnya usia,
pak Salman sekarang hanya mengajar setelah magrib. Dan anak-anak yang mengaji
juga tidak sebanyak dulu. Jumlahnya tidak lebih dari sepuluh anak.
****
Suatu pagi, seperti biasanya setelah memasukkan beras di magic
com, pak Haji Salman membersihkan sangkar si Tahlil. Oleh Pak Sak Salman,
burung beo kesayangannya itu diikat di lengan kursi sementara ia mengganti air
dan membuang kotoran di dalam sangkar. Tapi tiba-tiba, listrik padam. Pak
Salman teringat nasinya yang baru setengah matang. Lalu dia meninggalkan
pekerjaaannya untuk memeriksa saklar listrik yang memang sering putus. Dan
ternyata benar. Dia kemudian mengganti saklar yang putus dengan saklar lain
yang sudah disiapkannya. Ketika kembali, betapa terkejutnya dia. Hirun sudah mengendap-endap
dan siap menerkam Tahlil yang dengan asik menggelengkan kepalanya ke kanan dan
dan ke kiri. “Astagfirullahalazdim!” Pak Salman berteriak kaget. Tetapi Hirun lebih
cepat dari langkah Pak Salman. Hirun telah berhasil mencekeram dan menggigit
Tahlil. Tahlil meronta berusaha melepaskan diri. Hirun semakin kencang
mencengkeram dan semakin kuat gigitannya. Tahlil menjerit, merintih, mengerang
dan mendesis. Badannya tercabik-cabik. Pak Salman bertindak secepat yang ia
bisa menyingkirkan Tahlil dari serangan Hirun. “Cukup, Hirun! Cukup!” bentak
Pak Salman. Hirun melepas cengkeraman dan gigitannya. Selama ini, senakal
apapun ia tak pernah sekalipun Hirun kena hardik tuannya. Hirun mundur satu
langkah lalu duduk ketakutan tidak mengerti. Pak Salman segera mengambil Tahlil
dan berusaha menolongnya. Dia berdiri hendak mengambil obat tetapi Tahlil sudah
tidak bisa terselamatkan. Darah yang mengucur dari lehernya terlalu banyak.
Tahlil hanya meringkik kesakitan hingga tak lama kemudian mati.
Pak Salman
menghempaskan dirinya di atas kursi yang tadi dia gunakan untuk mengikat
Tahlil. Kepalanya dibiarkan sedikit menjuntai ke belakang. Matanya terpejam dan
kedua tangannya terkulai lemas di lengan kursi. Tak lama berselang
tetangga-tetangga segera berdatangan. Suatu hal yang jarang terjadi ada
keributan di rumah Pak Salman. Apalagi sampai terdengar teriakan seperti
tadi.
“Ada apa pak?”
tanya mas Karyo yang tinggal persis di depan rumahnya.
“Njenengan
tidak apa-apa kan, pak?” selidik Kang Dul dengan wajah khawatir.
“Piye….
Piye….. ?“ sahut tetangga lain yang segera saja berdatangan.
Sebelum Pak Salman berkata apa-apa, orang-orang itu sudah
mendapatkan jawabannya. Tahlil si burung beo tergeletak di tanah tidak
bernyawa. Sementara Hirun si kucing jantan duduk tidak jauh dari pak haji
Salman
“Ya Allah..... kenapa ini tadi si Tahlil”, kata kang Dul.
“Ini tadi gimana kejadiannya, pak?” sahut yang lain
“Si Hirun memang nakal!”.
Pak Salman diam tak menjawab. Dia bangkit dari kursi,
berdiri danmelihat ke arah Tahlil dan Hirun bergantian. Lalu berkata pada para
tetangga yang berkerumun.
“Saya minta ada diantara kalian yang bersedia menguburkan
Tahlil. Silahkan diatur sendiri saja. Saya mau cuci tangan, mandi dan solatDhuha”
Orang-orang
terdiam, terkejut dan heran. Selama ini Pak Salman tidak pernah menyuruh atau
minta tolong orang lain atas sesuatu yang ia bisa kerjakan. Bahkan menyuruh anak
santrinya membeli obat nyamuk saja misalnya, tidak pernah ia lakukan. Dan
setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, Pak Salman pergi meninggalkan
orang-orang yang kebingungan dengan sikapnya yang diluar kebiasaan
Tanpa perlu diminta dua kali, segera salah seorang dari mereka
mengambil cangkul dan menggali. Tak butuh waktu lama penguburan Tahlil selesai.
Sebagian dari mereka lalu pergi. Tapi beberapa dari mereka masih menunggu Pak
Salman untuk menemani dan bersiap sedia siapa tahu Pak Salman perlu sesuatu.
Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi. Sudah satu jam setengah
lebih Pak Salman berada di kamar solatnya, ketika tiba-tiba terdengar suara
isak tangis perlahan. Kemudian semakin keras dan semakin keras. Orang-orang
yang menunggu di teras berlarian menuju kamar solat pak Salman.
"Wonten nopo, pak!"
"Apa yang terjadi,pak?"
"Kenapa, pak?"
Tanya mereka bergantian. Pak Salman tidak menghiraukan
pertanyaan itu. Dia terus menangis dan menangis.
"Sudahlah pak, tak usah bersedih. Kami akan mencarikan
burung beo yang baru yang lebih bagus" kata salah seorang dari mereka.
"Iya pak, jangankan satu, kalau bapak mau kami bisa
mendapatkan sepuluh untuk bapak” sahut yang lain.
Pak Salman seperti tidak mendengar kata-kata yang mereka
ucapkan. Dia masih menangis tersedan-sedan. Air matanya menetes bagai air hujan
membasahi baju dan sarung yang ia kenakan. Orang-orang semakin kebingungan.
Hingga kemudian salah seorang dri mereka mendapatkan pikiran untuk menghubungi
anak-anak Pak Salman.
Kurang dari satu jam Umi sudah datang. Umi berusaha dengan
segala upaya membujuk tapi tangisan ayahnya tak juga kunjung berkurang.
“Bapak ini orang beriman, ingat Tuhan, pak”, katanya berkali
kali. Tapi Pak Salman seakan tidak peduli.
Dua jam kemudian Salim dan Kun tiba hampir bersamaan. Keduanya
segera mendekati ayah mereka yang menurut orang-orang larut dalam kesedihan.
Tapi mereka tidak percaya ayah mereka seperti ini hanya karena kematian seekor
hewan piaraan.
“Aku tidak percaya ayah sedih karena kehilangan Tahlil. Tapi
kenapa?”, kata Salim
“Dulu ayah pernah kehilangan burung perkutut, tapi ayah bahkan
bersedihpun tidak”, timpal Kun.
“Bahkan ketika ibu meninggal saja ayah tidak bersedih hingga
seperti ini. Apakah seeokor Tahlil melebihi ibu? ”, Umi menyahuti kakak dan
adiknya.
Kakak dan adiknya terkejut mendengar ucapan Umi. Apa yang baru saja ia ucapkan adalah ucapan
kurang ajar. Namun ia sudah kehilangan akal untuk membuat ayahnya sadar.
Ketika Kun yang sudah menjelit hendak marah, tiba-tiba pak Salman
melambaikan tangan. Kata-kata Umi itu ternyata cukup sakti untuk membuat
tangis Pak Salman berhenti. Dan dengan suara gemetar dia berkata, “Aku
ketakutan, nak”
“Ayah takut? Tidak mungkin” Kun keheranan.
“Tak ada orang sepemberani ayah yang pernah aku jumpai selama
hidupku. Pada zaman Gestapu, seorang diri Bapak menghadapi 30 orang anggota PKI
tanpa gentar sedikitpun” Salim menimpali adiknya.
Pak Salman tidak menanggapi kata-kata anak laki-laki bungsunya
juga tidak menghiraukan anak sulungnya. Matanya tertuju pada anak perempuan
satu-satunya lalu berkata dengan suara parau. “Jika rasul bersabda, sebaik-baik
perhiasan dunia adalah wanita solehah, maka itulah ibu kalian. Memang aku tidak
pernah mengatakan bahwa aku sangat mencintainya sebab aku yakin kata-kata itu
tidak akan bisa mewakili perasaanku padanya. Mengungkapkan perasaanku butuh
lebih dari sekedar kata-kata. Dan apa yang telah aku lakukan seumur hidupku
tidak juga cukup membuktikan cintaku padanya”.
Sejenak Pak Salman terdiam. Lalu melanjutkan perkataannya, “Aku
takut nasibku seperti Tahlil si burung beo. Bukan kematian tragisnya yang aku
khawatirkan. Aku tidak takut dengan kematian. Tetapi kebodohan beo yang aku
sesalkan. Ketika hidup dia sangat fasih mengucapkan Laa Ilaaha illa
Allah tetapi kalimat itu ternyata tak melewati tenggorokannya. Ketika
dia menghadapi maut, hanya jeritan dan erangan kesakitan yang ia perdengarkan.
Kata kunci pembuka surga itu ia lupakan". Pak Salman berhenti sejenak
menarik nafas dalam-dalam lalu melanjutkan perkataannya. "Aku juga takut
cucu-cucuku, cucu-cucu temanku, anak-anak negriku akan menjadi seperti burung
beo. Ketika mereka sekolah, mereka menghafal teori dan mengingat jawaban
prediksi soal-soal ujian tanpa mengerti apa yang dimaksudkan. Aku takut”
Ketiga anak Pak Salman tak bisa berkata apa-apa. Orang-orang
yang sedari tadi berada disana juga terdiam. Mereka semua menunggu apa lagi
yang akan diucapkan oleh Pak Salman. Satu menit, dua menit, tiga menit berjalan
dalam keheningan. Tiba-tiba Pak Salam terjatuh dari duduknya. Pak Salman
pingsan. Salim segera menggendong ayahnya dan tanpa disuruh adiknya segera
mempersiapkan kendaraan. Mereka kemudian membawanya ke rumah sakit untuk segera
mendapatkan perawatan.
Setelah enam hari dirawat dirumah sakit, Pak Salman meminta
pulang. Dan pada pagi menjelang subuh lima hari kemudian Pak Salman menghadap
Tuhannya sambil tersenyum setelah membaca kalimat tahlil Laa Ilaaha
illa Allah, Muhammad Rasulullah.
Cerita ini terinspirasi oleh salah satu kisah dari kisah-kisah teladan orang saleh
sip... sippp
ReplyDeleteMakasih. Semoga bisa menjadi pelajaran kita semua... Allahummahtim lana bihusnil khitam ya robb..amin
ReplyDeletepenuh makna pak yai,,salam sungkem saking muride jenengan, m, nahir fikron
ReplyDeleteSalam, Nahir.... I remember you. Gimana kabarnya...?
ReplyDelete2019 nembe bikak yai.. alhamdulillah sehat. bloge mpun mboten update yai.
Deletegawe buku yi...
ReplyDeleteTumancep ten Manah,,
ReplyDeleteSalam ta'dzim kulo saking pekalongan,,
M. Fatkhul Kirom
Alhamdulilah....
ReplyDeleteMau'idloh yang indah