Sunday, April 13, 2014

Kematian Tahlil


http://mosaicmarbelzelvisan.blogspot.com/2012/12/mozaik-marmer-kucing-menerkam-burung.html

Di perbatasan antara kabupaten Pati dan Jepara ada sebuah desa kecil yang bernama Desa Kembang Arum. Desa itu terletak di dataran tinggi antara gunung Muria dan dan gunung Celering.  Sebuah desa yang tenang dan kaya dengan keindahan alamnya.  Jika berdiri di tempat yang terbuka menjelang magrib, maka kita bisa menyaksikan matahari merah redup yang hendak pergi ke belahan bumi lain dan meningggalkan kita dalam pelukan bulan. Pada saat yang sama, jika menoleh ke kiri, kita bisa menyaksikan Gunung Muria yang megah dan gagah sedangkan di arah kanan terlihat gunung Celering yang mungil nampak dari kejauhan. Tak kalah menariknya, jika menoleh ke belakang, laut jawa akan memamerkan pesonanya  dengan airnya yang berkilauan tertimpa cahaya matahari senja.

Di antara penduduk desa yang berjumlah sekitar dua ribu orang ada seorang guru ngaji yang bernama Pak Haji Salman. Dia tinggal seorang diri di rumahnya yang terbuat dari kayu yang dicat warna hijau. Di halaman rumah berdiri sebuah musholla yang juga terbuat dari kayu dan juga dicat warna hijau. Meskipun sendirian, bisa dibilang pak haji Salman tidak pernah kesepian. Setiap waktu sholat banyak orang-orang yang tinggal di sekitar musholla datang untuk berjamaah. Anak-anak kecil juga senang bermain di halaman rumah pak Haji yang memang cukup luas dan banyak terdapat berbagai macam tanaman buah. Mulai dari pohon rambutan, klengkeng, belimbing, sawo, jambu air, jambu biji dan bahkan manggis juga ada. Siapapun diperbolehkan untuk mengambil buahnya asal untuk dimakan. Di tengah pohon-pohon itu terpasang sebuah papan yang ditulis dengan tulisan arab tetapi berbahasa jawa berbunyi "halal dipangan, haram dienggo dolanan" yang artinya "halal dimakan, haram dibuat mainan". Dan rupanya tulisan itu cukup manjur. Terbukti jarang sekali ada anak  atau siapa saja yang dengan sengaja berani mengambil buah tersebut kecuali dengan niat untuk menikmatinya. Mungkin karena kebaikan hati pemiliknya, justru membuat orang-orang menjadi segan. Dan begitulah, ketika seseorang mampu melepas keterikatan hati dengan harta benda, maka pada saat itu pula ia akan merasa kaya. Harta yang melimpah tidak bisa membuat orang merasa merdeka selagi hati orang itu selalu tertambat padanya. Sebaliknya ia akan menjadi budak dari kekayaan yang seharusnya dia berkuasa atasnya..



Pak Haji Salman saat ini berumur 69 tahun. Di lahir bersamaan dengan hari kemerdekaan yaitu 17 Agustus 1945. Walaupun usianya tidak lagi muda  tetapi Pak Salman masih bisa melakukan semua kegiatan untuk keperluan dirinya seorang diri. Pagi-pagi sekali setelah selesai solat Subuh dia sudah menyapu rumah dan halaman. Setelah itu dia akan memasak air untuk membuat secangkir kopi dan mandi. Sejak 3 tahun ini oleh dokter dia disarankan untuk mandi air hangat yang katanya untuk menjaga kebugaran. Sambil menikmati secangkir kopi, biasanya pak Salman mendengarkan radio RRI yang dari dulu menjadi stasiun radio favoritnya. Walaupun dia memiliki sebuah pesawat televisi, tetapi dia hampir tidak pernah menyalakannya. Dia tidak suka dengan acara-acara TV yang menurut dia tidak mendidik dan kebablasan dalam hal moral. Dia takut melihat acara infotainment yang isinya membicarakan urusan orang lain bahkan tak jarang rahasia orang lain. Dia sedih melihat orang berjoget-joget dan bercanda yang menurut dia sama sekali jauh dari pantas untuk ditonton apalagi dilakukan. Dia heran dengan sinetron yang rata-rata tidak ada isi berarti. Cerita yang asal-asalan, pemeran yang hanya jual ketampanan dan kecantikan ataupun kisah tokoh sejarah yang dikisahkan jauh dari catatan sejarah. Acara ceramah agama juga sangat sedikit yang menurut dia bermutu dan layak ditunggu.


Sekitar pukul 7.30 pagi Pak Haji menanak nasi dengan magic com. Nasi kemaren yang masih tersisa atau sengaja disisakan dicampur dengan ikan pindang yang selalu dia beli khusus untuk makanan kucing peliharaannya. Kucing jantan yang diberi nama Hirun itu sebenarnya tidaklah kucing yang menggemaskan. Meski tiap pagi dan sore selalu diberi makan, masih saja ia mencuri makanan tuannya jika ada kesempatan. Bulu Hirun yang berwarna abu-abu dan hitam dengan kombinasi tidak beraturan ditambah kebiasaan mendesis yang terlalu sering membuat ia memiliki kesan jauh dari lucu dan menyenangkan. Pun demikian, Pak Salman sangat memanjakan kucingnya itu. Kadang-kadang kucing nakal itu tidur di sajadah tempat imam di musholla. Tapi kalau ada orang yang mencoba mengusir, pak Salman selalu melarang orang itu mengganggunya.


Selain kucing, Pak Salman juga suka memelihara burung. Dulu Pak Salman pernah memiliki seekor burung perkutut. Namun burung yang bersuara merdu hingga pernah ditawar orang dengan harga 10 juta rupiah itu telah mati diterkam si Hirun. Sekarang dia mempunyai seekor burung beo yang merupakan hadiah dari Pak Arismanto lurah desa Kembang Arum. Pak lurah seperti halnya kebanyakan orang warga desa itu adalah salah satu murid yang waktu kecil mengaji di rumah pak Salman. "Saya tahu bapak suka memelihara burung. Jadi burung beo ini sebagai pengganti burung perkutut bapak yang mati" Kata pak lurah ketika memberikan burung beo itu pada Pak Haji Salman.



Di rumah Pak Salman setiap malam Jum’at ada acara "Tahlil Bersama" yang diikuti oleh warga dimana Pak Salman tinggal. Entah bagaimana, dari sekian macam bacaan tahlil yang dibaca orang hanya satu bacaan yang diingat dan fasih diucapkan oleh burung beo tersebut, yaitu kalimat “Laa ilaaha illa Al-Allah”. Hal ini membuat Pak Salman sangat menyukainya. Tak segan-segan dia memamerkan kemampuan burung beonya itu kepada siapa saja  yang kebetulan datang ke rumahnya. Diapun lalu memberi nama burung itu dengan nama Tahlil sesuai dengan nama bacaan yang burung itu bisa tirukan.

****
Sewaktu masih muda Pak Salman adalah seorang pedagang jengkol dan petai yang sukses. Dia membeli jengkol atau petai ketika masih ada di pohon lalu memanen dan menjualnya kembali. Pak Salman memiliki kemampuan luar biasa dalam hal menaksir jumlah buah yang akan di hasilkan sebuah pohon. Dia  juga mampu memperkirakan pengaruh cuaca terhadap hasil panen dengan baik. Dari hasil kerjanya itu, dia berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga menjadi sarjana dan bersama istrinya berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.


Sejak Ibu Salamatun istrinya  meninggal 3 tahun lalu, sebenarnya anak-anaknya telah berulang kali meminta pak Salman untuk tinggal bersama mereka. Anak pertamanya yang bernama Anta Salim tinggal di kota Jepara dan bekerja sebagai hakim Pengadilan Agama. Anak keduanya perempuan yaitu Umi Salmah tinggal tidak jauh dari desa Kembang Arum. Dia bersuamikan seorang kiyai yang memiliki sebuah pesantren dan memiliki santri sekitar 700-an. Umi Salmah sendiri adalah seorang hafidhoh (hafal -Al-Qur'an). Sedangkan anak ketiganya yang bernama Kun Muslim menjadi guru agama di kabupaten Rembang. Ketiga anaknya tersebut sudah menikah dan memiliki anak. Cucu pak Salman semuanya sudah 10 orang. 3 dari anak pertama 3 dari anak kedua dan 4 dari anak ketiganya.

“Kami akan sangat senang kalau bapak bersedia tinggal bersama kami” kata Umi untuk kesekian kali waktu lebaran kemaren.
"Jika tidak mau sama Umi, cucu-cucu bapak pasti akan bangga sekali jika Bapak bersedia mengajari mereka ngaji setiap habis magrib", timpal Salim.
"Atau di Rembang, pak? Disana dekat pantai. Jadi bapak bisa merasakan suasana yang berbeda dengan di sini", sahut Kun tidak mau kalah.

"Aku tidak bisa meninggalkan kenangan 37 tahun bersama ibu kalian ". Jawab pak Haji sambil tersenyum. "Lagipula, setiap habis magrib masih ada anak-anak yang mengaji. Aku tidak mungkin meninggalkan mereka. Itu adalah rutinitas yang umurnya lebih dari setengah umur bapak sendiri"

Selama bertahun-tahun, Pak Salman adalah guru ngaji yang terkenal sabar dan telaten menghadapi murid-muridnya. Selepas Asar adalah waktu mengaji anak-anak yang masih belajar “turutan”. Turutan adalah Qa’idah Bagdadiyah metode baca Al-Quran klasik yang telah digunakan selama puluhan tahun atau bahkan mungkin ratusan tahun. Dan siapa penciptanya, tidak diketahui. Sedangkan untuk selepas magrib, adalah waktu bagi anak-anak yang mengaji Al-Qur’an. Tapi seiring dengan berkembangnya metode Al-Qur’an modern dan maraknya TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) serta semakin bertambahnya usia, pak Salman sekarang hanya mengajar setelah magrib. Dan anak-anak yang mengaji juga tidak sebanyak dulu. Jumlahnya tidak lebih dari sepuluh anak.
****



Suatu pagi, seperti biasanya setelah memasukkan beras di magic com, pak Haji Salman membersihkan sangkar si Tahlil. Oleh Pak Sak Salman, burung beo kesayangannya itu diikat di lengan kursi sementara ia mengganti air dan membuang kotoran di dalam sangkar. Tapi tiba-tiba, listrik padam. Pak Salman teringat nasinya yang baru setengah matang. Lalu dia meninggalkan pekerjaaannya untuk memeriksa saklar listrik yang memang sering putus. Dan ternyata benar. Dia kemudian mengganti saklar yang putus dengan saklar lain yang sudah disiapkannya. Ketika kembali, betapa terkejutnya dia. Hirun sudah mengendap-endap dan siap menerkam Tahlil yang dengan asik menggelengkan kepalanya ke kanan dan dan ke kiri. “Astagfirullahalazdim!” Pak Salman berteriak kaget. Tetapi Hirun lebih cepat dari langkah Pak Salman. Hirun telah berhasil mencekeram dan menggigit Tahlil. Tahlil meronta berusaha melepaskan diri. Hirun semakin kencang mencengkeram dan semakin kuat gigitannya. Tahlil menjerit, merintih, mengerang dan mendesis. Badannya tercabik-cabik. Pak Salman bertindak secepat yang ia bisa menyingkirkan Tahlil dari serangan Hirun. “Cukup, Hirun! Cukup!” bentak Pak Salman. Hirun melepas cengkeraman dan gigitannya. Selama ini, senakal apapun ia tak pernah sekalipun Hirun kena hardik tuannya. Hirun mundur satu langkah lalu duduk ketakutan tidak mengerti. Pak Salman segera mengambil Tahlil dan berusaha menolongnya. Dia berdiri hendak mengambil obat tetapi Tahlil sudah tidak bisa terselamatkan. Darah yang mengucur dari lehernya terlalu banyak. Tahlil hanya meringkik kesakitan hingga tak lama kemudian mati.



Pak Salman menghempaskan dirinya di atas kursi yang tadi dia gunakan untuk mengikat Tahlil. Kepalanya dibiarkan sedikit menjuntai ke belakang. Matanya terpejam dan kedua tangannya terkulai lemas di lengan kursi. Tak lama berselang tetangga-tetangga segera berdatangan. Suatu hal yang jarang terjadi ada keributan di rumah Pak Salman. Apalagi sampai terdengar teriakan seperti tadi.   

“Ada apa pak?” tanya mas Karyo yang tinggal persis di depan rumahnya.
Njenengan tidak apa-apa kan, pak?” selidik Kang Dul dengan wajah khawatir.
“Piye…. Piye….. ?“ sahut tetangga lain yang segera saja berdatangan.  
Sebelum Pak Salman berkata apa-apa, orang-orang itu sudah mendapatkan jawabannya. Tahlil si burung beo tergeletak di tanah tidak bernyawa. Sementara Hirun si kucing jantan duduk tidak jauh dari pak haji Salman

“Ya Allah..... kenapa ini tadi si Tahlil”, kata kang Dul.

“Ini tadi gimana kejadiannya, pak?” sahut yang lain

“Si Hirun memang nakal!”.



Pak Salman diam tak menjawab. Dia bangkit dari kursi, berdiri danmelihat ke arah Tahlil dan Hirun bergantian. Lalu berkata pada para tetangga yang berkerumun.

“Saya minta ada diantara kalian yang bersedia menguburkan Tahlil. Silahkan diatur sendiri saja. Saya mau cuci tangan, mandi dan solatDhuha

Orang-orang terdiam, terkejut dan heran. Selama ini Pak Salman tidak pernah menyuruh atau minta tolong orang lain atas sesuatu yang ia bisa kerjakan. Bahkan menyuruh anak santrinya membeli obat nyamuk saja misalnya, tidak pernah ia lakukan. Dan setelah berkata demikian, tanpa menunggu jawaban, Pak Salman pergi meninggalkan orang-orang yang kebingungan dengan sikapnya yang diluar kebiasaan

Tanpa perlu diminta dua kali, segera salah seorang dari mereka mengambil cangkul dan menggali. Tak butuh waktu lama penguburan Tahlil selesai. Sebagian dari mereka lalu pergi. Tapi beberapa dari mereka masih menunggu Pak Salman untuk menemani dan bersiap sedia siapa tahu Pak Salman perlu sesuatu.

Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi. Sudah satu jam setengah lebih Pak Salman berada di kamar solatnya, ketika tiba-tiba terdengar suara isak tangis perlahan. Kemudian semakin keras dan semakin keras. Orang-orang yang menunggu di teras berlarian menuju kamar solat pak Salman.

"Wonten nopo, pak!"
"Apa yang terjadi,pak?"
"Kenapa, pak?"

Tanya mereka bergantian. Pak Salman tidak menghiraukan pertanyaan itu. Dia terus menangis dan menangis.

"Sudahlah pak, tak usah bersedih. Kami akan mencarikan burung beo yang baru yang lebih bagus" kata salah seorang dari mereka.
"Iya pak, jangankan satu, kalau bapak mau kami bisa mendapatkan sepuluh untuk bapak” sahut yang lain.

Pak Salman seperti tidak mendengar kata-kata yang mereka ucapkan. Dia masih menangis tersedan-sedan. Air matanya menetes bagai air hujan membasahi baju dan sarung yang ia kenakan. Orang-orang semakin kebingungan. Hingga kemudian salah seorang dri mereka mendapatkan pikiran untuk menghubungi anak-anak Pak Salman.

Kurang dari satu jam Umi sudah datang. Umi berusaha dengan segala upaya membujuk tapi  tangisan ayahnya tak juga kunjung berkurang.

“Bapak ini orang beriman, ingat Tuhan, pak”, katanya berkali kali. Tapi Pak Salman seakan tidak peduli.

Dua jam kemudian Salim dan Kun tiba hampir bersamaan. Keduanya segera mendekati ayah mereka yang menurut orang-orang larut dalam kesedihan. Tapi mereka tidak percaya ayah mereka seperti ini hanya karena kematian seekor hewan piaraan.

“Aku tidak percaya ayah sedih karena kehilangan Tahlil. Tapi kenapa?”, kata Salim
“Dulu ayah pernah kehilangan burung perkutut, tapi ayah bahkan bersedihpun tidak”, timpal Kun.
“Bahkan ketika ibu meninggal saja ayah tidak bersedih hingga seperti ini. Apakah seeokor Tahlil melebihi ibu? ”, Umi menyahuti kakak dan adiknya.
Kakak dan adiknya terkejut mendengar ucapan Umi.  Apa yang baru saja ia ucapkan adalah ucapan kurang ajar. Namun ia sudah kehilangan akal untuk membuat ayahnya sadar.

Ketika Kun yang sudah menjelit hendak marah, tiba-tiba pak Salman melambaikan tangan. Kata-kata Umi  itu ternyata cukup sakti untuk membuat tangis Pak Salman berhenti. Dan dengan suara gemetar dia berkata, “Aku ketakutan, nak”

“Ayah takut? Tidak mungkin” Kun keheranan.
“Tak ada orang sepemberani ayah yang pernah aku jumpai selama hidupku. Pada zaman Gestapu, seorang diri Bapak menghadapi 30 orang anggota PKI tanpa gentar sedikitpun” Salim menimpali adiknya.

Pak Salman tidak menanggapi kata-kata anak laki-laki bungsunya juga tidak menghiraukan anak sulungnya. Matanya tertuju pada anak perempuan satu-satunya lalu berkata dengan suara parau. “Jika rasul bersabda, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita solehah, maka itulah ibu kalian. Memang aku tidak pernah mengatakan bahwa aku sangat mencintainya sebab aku yakin kata-kata itu tidak akan bisa mewakili perasaanku padanya. Mengungkapkan perasaanku butuh lebih dari sekedar kata-kata. Dan apa yang telah aku lakukan seumur hidupku tidak juga cukup membuktikan cintaku padanya”.

Sejenak Pak Salman terdiam. Lalu melanjutkan perkataannya, “Aku takut nasibku seperti Tahlil si burung beo. Bukan kematian tragisnya yang aku khawatirkan. Aku tidak takut dengan kematian. Tetapi kebodohan beo yang aku sesalkan. Ketika hidup dia sangat fasih mengucapkan Laa Ilaaha illa Allah tetapi kalimat itu ternyata tak melewati tenggorokannya. Ketika dia menghadapi maut, hanya jeritan dan erangan kesakitan yang ia perdengarkan. Kata kunci pembuka surga itu ia lupakan". Pak Salman berhenti sejenak menarik nafas dalam-dalam lalu melanjutkan perkataannya. "Aku juga takut cucu-cucuku, cucu-cucu temanku, anak-anak negriku akan menjadi seperti burung beo. Ketika mereka sekolah, mereka menghafal teori dan mengingat jawaban prediksi soal-soal ujian tanpa mengerti apa yang dimaksudkan. Aku takut”

Ketiga anak Pak Salman tak bisa berkata apa-apa. Orang-orang yang sedari tadi berada disana juga terdiam. Mereka semua menunggu apa lagi yang akan diucapkan oleh Pak Salman. Satu menit, dua menit, tiga menit berjalan dalam keheningan. Tiba-tiba Pak Salam terjatuh dari duduknya. Pak Salman pingsan. Salim segera menggendong ayahnya dan tanpa disuruh adiknya segera mempersiapkan kendaraan. Mereka kemudian membawanya ke rumah sakit untuk segera mendapatkan perawatan.


Setelah enam hari dirawat dirumah sakit, Pak Salman meminta pulang. Dan pada pagi menjelang subuh lima hari kemudian Pak Salman menghadap Tuhannya sambil tersenyum setelah membaca kalimat tahlil Laa Ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah.


Catatan: 
Cerita ini terinspirasi oleh salah satu kisah dari kisah-kisah  teladan orang saleh

8 comments:

  1. Makasih. Semoga bisa menjadi pelajaran kita semua... Allahummahtim lana bihusnil khitam ya robb..amin

    ReplyDelete
  2. penuh makna pak yai,,salam sungkem saking muride jenengan, m, nahir fikron

    ReplyDelete
  3. Salam, Nahir.... I remember you. Gimana kabarnya...?

    ReplyDelete
    Replies
    1. 2019 nembe bikak yai.. alhamdulillah sehat. bloge mpun mboten update yai.

      Delete
  4. Tumancep ten Manah,,
    Salam ta'dzim kulo saking pekalongan,,

    M. Fatkhul Kirom

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah....
    Mau'idloh yang indah

    ReplyDelete