Sesuai dengan teori mengajar, sebagaimana Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran yang benar, setiap kali merampungkan pembahasan sebuah
topik dari bahan ajar, Pak Salman selalu memberi latihan untuk mengetahui seberapa
besar yang mampu diserap oleh murid setelah belajar dan jika perlu sejauh mana
mereka harus mengejar.
Pak Salman mempersilakan murid-murid secara berpasangan bergantian maju ke depan kelas untuk mempraktekkan percakapan
pendek yang berkaitan dengan tema pagi itu yaitu “menanyakan dan menyampaikan
pendapat”.
Pada awalnya semua berjalan wajar.
Namun ketika giliran Mansur murid laki-laki yang duduk di bangku baris ketiga
dari depan kedua dari kiri, tanpa diduga anak tersebut menolak untuk maju.
“Maaf pak, saya tidak bisa”, katanya pendek.
“Tidak apa-apa kalau memang belum bisa, silahkan maju
ke depan, nanti
kita bantu sama-sama” jawab Pak Salman
“Tapi saya betul-betul tidak bisa, Pak. Takdir saya
memang demikian”.
Pak Salman mengerutkan keningnya. Dalam hati ia
berkata “Ada yang tak beres dengan anak ini”. Tapi sebagai seorang pendidik,
pak Salman harus tenang dan tidak terbawa suasana ketika
menghadapi situasi semacam ini.
Menjadi seorang guru dia tidak ingin hanya sebagai
pengajar yang bertugas untuk men-transfer ilmu, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang turut
bertanggung jawab dalam pembentukan karakter anak-anak didiknya. Untuk
mewujudkan itu semua, tidaklah cukup dengan hanya menyampaikan pengetahuan
moral saja tetapi seorang pendidik juga harus memberi contoh nyata melalui
sikap kesehariannya.
Pak Salman tersenyum lalu bertanya “Bisa kamu jelaskan
apa maksudmu, Mansur?”
“Tuhan telah menghendaki saya tidak bisa pelajaran Bahasa
Inggris yang bapak ajarkan, makanya saya tidak bisa. Sederhana saja, pak”
Murid-murid lain yang gelisah karena khawatir Pak
Salman marah, mulai saling bergumam menciptakan keributan pelan tertahan. Bebarapa
anak perempuan bahkan sudah menundukkan muka dalam-dalam.
Menyadari suasana tegang mulai melanda kelas 11, Pak
Salman berjalan ke arah mejanya, lalu duduk di kursi sambil meletakkan tangan
kiri di atas meja dan menyandarkan
tangan kanannya di lengan kursi. Sikap demikian ini memberi kesan santai tetapi
tetap serius. Dan rupanya cukup mujarab untuk membuat murid-murid kelihatan
sedikit lega.
“Jika
kamu berusaha sedikit lebih keras, saya yakin kamu akan bisa. Tuhan tidak
pernah berbuat zalim pada hamba-Nya”, katanya
kalem.
Di sekolah tempat Pak Salman mengajar, dia dikenal
sebagai guru yang rajin dan sabar. Selama mengajar di sana belum pernah
terdengar dia ada masalah dengan murid, teman guru atau dengan siapapun. Bahkan
marah-marah di kelas karena murid yang nakalpun tidak pernah.
“Saya tidak bilang kalau Tuhan itu zalim, pak. Buktinya saya bisa bermain musik lebih baik dibanding temen-temen yang lain. Jadi bagian saya
adalah di musik, bukan Bahasa Inggris. Dan saya menerima semua yang ditaqdirkan
Tuhan pada saya. Ada yang salah, Pak?” jawab Mansur menantang.
“Menerima taqdir Tuhan, baik atau buruk adalah
kewajiban. Sebab apapun yang telah terjadi, sedang berlangsung atau yang belum
menjadi kenyataan tanpa terkecuali adalah memang benar taqdir Tuhan”
Jawaban Pak Salman yang tidak langsung dan seakan
memberi pembenaran pernyataan Mansur ini segera mengundang bisik-bisik diantara
murid. Yang tadinya mereka membayangkan akan terjadi sejarah baru di sekolah
mereka yaitu; “Pak Salman marah”, ternyata meleset. Padahal bukan sesuatu yang langka
seorang guru memarahi murid-muridnya. Sedangkan yang kelewatan hingga menjadi
kasus kekerasaan dan sampai ke
pengadilan merupakan hal yang sering
diberitakan.
“Apakah orang yang mati bunuh diri itu merupakan taqdir Tuhan, Pak?”
tanya salah seorang murid.
“Ya”
“Kalau begitu, keadaan negeri kita yang banyak kasus korupsi
ini juga taqdir?”, tanya Arif ketua kelas yang sejak tadi tak bersuara.
“Betul.”
“Kalau kesewenang-wenangan
penguasa, keserakahan orang kaya dan kemiskinan rakyat jelata?”, tanya yang
lain.
“Itu juga taqdir”
“Bagaimana dengan kerusakan hutan
karena penebangan liar dan kehancuran lahan karena penambangan yang tidak
memikirkan masa depan?”
“Itu terjadi pasti atas kehendak Tuhan”
“Lalu apa gunanya kita belajar kalau semuanya sudah
ditaqdirkan?”, “Apa perlunya kita
berdoa?”, “Percuma saja kita berusaha, dong Pak!”, “Dimana keadilan Tuhan jika
demikian?”, “Bla… bla… bla…”
Kegaduhan di kelas tak bisa dihindari. Sebagian yang
tidak mengerti dan juga yang merasa mengerti mengangkat jari tinggi-tinggi. Masing-masing
mengajukan pertanyaan tak silih berganti. Suara mereka tumpang tindih tak bisa dipahami.
Angin sepoi-sepoi yang menyelinap masuk melalui
jendela ke dalam ruang kelas yang tidak
dilengkapi kipas angin apalagi pendingin ruangan seperti kebanyakan ruang-ruang
kelas di sekolah yang lain di negeri ini, berlalu begitu saja tanpa terasa.
Diluar, matahari yang semakin meninggi
bebas membakar bumi. Pohon-pohonan yang dulu banyak tumbuh disana-sini sekarang
sudah berganti dengan gedung-gedung, rumah-rumah,pusat pertokoan, pabrik atau
sekolah. Meski pagi belum melewati pukul sepuluh, namun cuaca sudah terasa
panas seperti suasana di ruang kelas Pak Salman.
“Satu-satu kalau bertanya... gantian...!” kata Pak
Salman sambil mengangkat tangan menenangkan kelas.
Mansur tersenyum penuh kemenangan. Ia menikmati
“pembelaan” teman-temannya. Namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia
tidak ada maksud menguji Pak Salman apalagi sengaja memancing emosi guru yang
diam-diam dia kagumi itu. Dia sebenarnya ingin bertanya baik-baik tentang
taqdir kepada Pak Salman. Tetapi egonya sebagai vokalis band sekolah yang membuat
ia merasa telah menjadi selebriti menghalanginya.
Tak lama kemudian kelas kembali tenang. Beberapa anak masih
mengangkat tangan. Pak Salman mempersilahkan Sri Wahyuni, murid terpandai di kelas
itu yang dari tadi telah tunjuk jari. “Silahkan, Yuni” kata Paka Salman.
“Jadi keadaan bangsa Indonesia yang untuk paling tidak
satu generasi ke depan masih dalam kebobrokan ini juga taqdir Tuhan?”
“Kita tidak boleh pesimis seperti itu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi”
“Maksud Bapak?”, kejar Yuni.
“Masih ingat sebuah kata mutiara
dalam bahasa Inggris yang saya sebutkan ketika kita membahas ulang present
tense?”. Pak Salman balik bertanya.
“Ya, Pak. Yesterday is a history, tomorrow is a mystery
and today is a gift”
“Bagus sekali Yuni, terima kasih. Coba artikan Arif!”
“Kemaren adalah sejarah, besok adalah misteri dan hari
ini adalah anugerah” terang Arif.
“Makanya waktu sekarang disebut present yang
artinya........?” Pak Salman melibatkan
semua murid.
“Hadiah....!” jawab murid-murid serempak.
“Oleh karena itu kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang kita punya”
Pak Salman berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan
dan berhenti tepat di depan papan tulis. Anak-anak tidak ada lagi yang
bersuara. Kelas telah kembali terkendali.
“Seperti yang tadi saya katakan bahwa segala macam
kejadian terjadi atas kehendak Tuhan. Namun kita baru mengetahui setelah melaluinya.
Andai manusia telah tahu taqdir Tuhan sebelum terlaksana maka kehidupan ini
akan hampa. Tak ada harapan, tak ada persaingan, tak ada perjuangan, tak ada kejutan, tak ada
dinamika dan tak perlu ada doa. Hidup, akan kehilangan keindahannya”.
Sejenak pak Salman menghentikan bicaranya. Kemudian
menyapu kelas dengan tatapan penuh kasih sayang yang semua murid dapat
merasakannya tanpa terkecuali Mansur yang sibuk dengan dirinya sendiri.
“Tuhan memerintahkan kita untuk selalu berusaha,
optimis dalam memandang masa depan dan melarang kita berputus asa. Jika kita
bekerja dengan sepenuh jiwa, lalu
menyempurnakannya dengan do’a, pasti Tuhan akan memberi yang terbaik untuk kita”
“Apakah jika kita berusaha dengan lebih baik Tuhan
akan merubah taqdir buruk kita yang telah ditetapkan sebelumnya?” tanya Yuni
penasaran.
“Jika Tuhan berkehendak, apakah ada yang bisa
menghalangi-Nya?”
“Tidak!”
“Apakah kekuasaan Tuhan terbatas?”
“Tidak”
“Terima kasih. Sekarang tolong Arman maju ke depan kelas, dan bersihkan papan tulis”
Arman, anak bertubuh tinggi besar
yang duduk persis di
belakang Mansur segera berdiri dan melaksanakan perintah gurunya. Pak Salman
membelakangi kelas dan membisikkan sesuatu pada Arman. Arman mengangguk tanda mengerti. Setelah selesai, Arman kembali ke tempat duduk sambil membawa serta pengapus yang kotor dengan serpihan kapur
tulis. Tak seorangpun menyadari hal ini karena Pak Salman meminta anak-anak
untuk memperhatikannya.
“Pay attention, please...!”
Pak Salman berpura-pura menuliskan sesuatu di papan
Tulis. Tak lama kemudian dia
membalikkan badan menghadap kembali ke arah murid-muridnya. Tiba-tiba ada keributan di bangku barisan
ketiga. Tanpa suara, Arman berdiri dari tempat duduknya lalu maju selangkah dan
dengan gerakan cepat, ia meraupkan penghapus kotor ke muka Mansur. Mansur terkejut dan marah . Tetapi sebelum dia sempat berbuat apa-apa, Pak Salman dengan suara keras memanggil namanya.
“Mansur!”.
Mansur mengurungkan niatnya untuk melabrak Arman dan dengan wajah bersungut-sungut dia melihat ke arah
Pak Salman seraya menunjuk ke arah Armand dan berkata
terbata-bata, “Dia.... dia.....”
“Saya yang menyuruhnya. Dan kamu tak boleh marah.
Bukankah tadi kamu bilang
menerima semua taqdirmu? Pada hari ini jam ini Tuhan mentaqdirkan kamu diraupi temanmu dengan serpihan kapur”.
Mansur terdiam, lalu duduk kembali sambil menggumam
pelan tanpa ada seorangpun
mendengarnya, “Maafkan saya,
Pak”
“Teeeet......
teeeet......”. Bel tanda
istirahat berbunyi. Pak Salman mengemasi buku-buku dan catatannya lalu meninggalkan
kelas yang meledak penuh tawa.
“Selamat siang anak-anak. Have a nice day!”
No comments:
Post a Comment