Thursday, May 29, 2014

Taqdir Tuhan Di Kelas Bahasa Inggris



 Sesuai dengan teori mengajar, sebagaimana Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang benar, setiap kali merampungkan pembahasan sebuah topik dari bahan ajar, Pak Salman selalu memberi latihan untuk mengetahui seberapa besar yang mampu diserap oleh murid setelah belajar dan jika perlu sejauh mana mereka harus mengejar.
Pak Salman mempersilakan murid-murid secara berpasangan bergantian maju ke depan kelas untuk mempraktekkan percakapan pendek yang berkaitan dengan tema pagi itu yaitu “menanyakan dan menyampaikan pendapat”.
           Pada awalnya semua berjalan wajar. Namun ketika giliran Mansur murid laki-laki yang duduk di bangku baris ketiga dari depan kedua dari kiri, tanpa diduga anak tersebut menolak untuk maju. “Maaf pak, saya tidak bisa”, katanya  pendek.
“Tidak apa-apa kalau memang belum bisa, silahkan maju ke depan, nanti kita bantu sama-sama” jawab Pak Salman
“Tapi saya betul-betul tidak bisa, Pak. Takdir saya memang demikian”.
Pak Salman mengerutkan keningnya. Dalam hati ia berkata “Ada yang tak beres dengan anak ini”. Tapi sebagai seorang pendidik, pak Salman harus tenang dan tidak terbawa suasana ketika menghadapi situasi semacam ini.
Menjadi seorang guru dia tidak ingin hanya sebagai pengajar yang bertugas untuk men-transfer ilmu, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang turut bertanggung jawab dalam pembentukan karakter anak-anak didiknya. Untuk mewujudkan itu semua, tidaklah cukup dengan hanya menyampaikan pengetahuan moral saja tetapi seorang pendidik juga harus memberi contoh nyata melalui sikap kesehariannya.
Pak Salman tersenyum lalu bertanya “Bisa kamu jelaskan apa maksudmu, Mansur?  
“Tuhan telah menghendaki saya tidak bisa pelajaran Bahasa Inggris yang bapak ajarkan, makanya saya tidak bisa. Sederhana saja, pak”
Murid-murid lain yang gelisah karena khawatir Pak Salman marah, mulai saling bergumam menciptakan keributan pelan tertahan. Bebarapa anak perempuan bahkan sudah menundukkan muka dalam-dalam.
Menyadari suasana tegang mulai melanda kelas 11, Pak Salman berjalan ke arah mejanya, lalu duduk di kursi sambil meletakkan tangan kiri di atas meja dan  menyandarkan tangan kanannya di lengan kursi. Sikap demikian ini memberi kesan santai tetapi tetap serius. Dan rupanya cukup mujarab untuk membuat murid-murid kelihatan sedikit lega.
            “Jika kamu berusaha sedikit lebih keras, saya yakin kamu akan bisa. Tuhan tidak pernah berbuat zalim pada hamba-Nya”, katanya  kalem.
Di sekolah tempat Pak Salman mengajar, dia dikenal sebagai guru yang rajin dan sabar. Selama mengajar di sana belum pernah terdengar dia ada masalah dengan murid, teman guru atau dengan siapapun. Bahkan marah-marah di kelas karena murid yang nakalpun tidak pernah.
“Saya tidak bilang kalau Tuhan itu zalim, pak. Buktinya saya bisa bermain musik lebih baik dibanding temen-temen yang lain. Jadi bagian saya adalah di musik, bukan Bahasa Inggris. Dan saya menerima semua yang ditaqdirkan Tuhan pada saya. Ada yang salah, Pak?” jawab Mansur menantang.
“Menerima taqdir Tuhan, baik atau buruk adalah kewajiban. Sebab apapun yang telah terjadi, sedang berlangsung atau yang belum menjadi kenyataan tanpa terkecuali adalah memang benar taqdir Tuhan”
Jawaban Pak Salman yang tidak langsung dan seakan memberi pembenaran pernyataan Mansur ini segera mengundang bisik-bisik diantara murid. Yang tadinya mereka membayangkan akan terjadi sejarah baru di sekolah mereka yaitu; “Pak Salman marah”, ternyata meleset. Padahal bukan sesuatu yang langka seorang guru memarahi murid-muridnya. Sedangkan yang kelewatan hingga menjadi kasus kekerasaan dan sampai ke pengadilan merupakan hal yang sering diberitakan.
“Apakah orang yang mati bunuh diri itu merupakan taqdir Tuhan, Pak?” tanya salah seorang murid.
“Ya”
“Kalau begitu, keadaan negeri kita yang banyak kasus korupsi ini juga taqdir?”, tanya Arif ketua kelas yang sejak tadi tak bersuara.
Betul.”
Kalau kesewenang-wenangan penguasa, keserakahan orang kaya dan kemiskinan rakyat jelata?”, tanya yang lain.
Itu juga taqdir
Bagaimana dengan kerusakan hutan karena penebangan liar dan kehancuran lahan karena penambangan yang tidak memikirkan masa depan?”
Itu terjadi pasti atas kehendak Tuhan
“Lalu apa gunanya kita belajar kalau semuanya sudah ditaqdirkan?”,  “Apa perlunya kita berdoa?”, “Percuma saja kita berusaha, dong Pak!”, “Dimana keadilan Tuhan jika demikian?”, “Bla… bla… bla…” 
Kegaduhan di kelas tak bisa dihindari. Sebagian yang tidak mengerti dan juga yang merasa mengerti mengangkat jari tinggi-tinggi. Masing-masing  mengajukan pertanyaan tak silih berganti. Suara mereka tumpang tindih tak bisa dipahami.
Angin sepoi-sepoi yang menyelinap masuk melalui jendela  ke dalam ruang kelas yang tidak dilengkapi kipas angin apalagi pendingin ruangan seperti kebanyakan ruang-ruang kelas di sekolah yang lain di negeri ini, berlalu begitu saja tanpa terasa.
Diluar, matahari yang semakin meninggi bebas membakar bumi. Pohon-pohonan yang dulu banyak tumbuh disana-sini sekarang sudah berganti dengan gedung-gedung, rumah-rumah,pusat pertokoan, pabrik atau sekolah. Meski pagi belum melewati pukul sepuluh, namun cuaca sudah terasa panas seperti suasana di ruang kelas Pak Salman.
“Satu-satu kalau bertanya... gantian...!” kata Pak Salman sambil mengangkat tangan menenangkan kelas.
Mansur tersenyum penuh kemenangan. Ia menikmati “pembelaan” teman-temannya. Namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia tidak ada maksud menguji Pak Salman apalagi sengaja memancing emosi guru yang diam-diam dia kagumi itu. Dia sebenarnya ingin bertanya baik-baik tentang taqdir kepada Pak Salman. Tetapi egonya sebagai vokalis band sekolah yang membuat ia merasa telah menjadi selebriti menghalanginya.
Tak lama kemudian kelas kembali tenang. Beberapa anak masih mengangkat tangan. Pak Salman mempersilahkan Sri Wahyuni, murid terpandai di kelas itu yang dari tadi telah tunjuk jari. “Silahkan, Yuni” kata Paka Salman.
“Jadi keadaan bangsa Indonesia yang untuk paling tidak satu generasi ke depan masih dalam kebobrokan ini juga taqdir Tuhan?”
Kita tidak boleh pesimis seperti itu. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi”
“Maksud Bapak?”, kejar Yuni.
“Masih ingat sebuah kata mutiara dalam bahasa Inggris yang saya sebutkan ketika kita membahas ulang present tense?”. Pak Salman balik bertanya.
Ya, Pak. Yesterday is a history, tomorrow is a mystery and today is a gift”
“Bagus sekali Yuni, terima kasih. Coba artikan Arif!”
“Kemaren adalah sejarah, besok adalah misteri dan hari ini adalah anugerah”  terang Arif.
“Makanya waktu sekarang disebut present yang artinya........?”  Pak Salman melibatkan semua murid.
“Hadiah....!” jawab murid-murid serempak.
“Oleh karena itu kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang kita punya”
Pak Salman berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan dan berhenti tepat di depan papan tulis. Anak-anak tidak ada lagi yang bersuara. Kelas telah kembali terkendali.
“Seperti yang tadi saya katakan bahwa segala macam kejadian terjadi atas kehendak Tuhan. Namun kita baru mengetahui setelah melaluinya. Andai manusia telah tahu taqdir Tuhan sebelum terlaksana maka kehidupan ini akan hampa. Tak ada harapan, tak ada persaingan,  tak ada perjuangan, tak ada kejutan, tak ada dinamika dan tak perlu ada doa. Hidup, akan kehilangan keindahannya”.
Sejenak pak Salman menghentikan bicaranya. Kemudian menyapu kelas dengan tatapan penuh kasih sayang yang semua murid dapat merasakannya tanpa terkecuali Mansur yang sibuk dengan dirinya sendiri.  
“Tuhan memerintahkan kita untuk selalu berusaha, optimis dalam memandang masa depan dan melarang kita berputus asa. Jika kita bekerja dengan sepenuh jiwa, lalu menyempurnakannya dengan do’a, pasti Tuhan akan memberi yang terbaik untuk kita”
“Apakah jika kita berusaha dengan lebih baik Tuhan akan merubah taqdir buruk kita yang telah ditetapkan sebelumnya?” tanya Yuni penasaran.
“Jika Tuhan berkehendak, apakah ada yang bisa menghalangi-Nya?”
“Tidak!”
“Apakah kekuasaan Tuhan terbatas?”
“Tidak”
“Terima kasih. Sekarang tolong Arman maju ke depan kelas, dan bersihkan papan tulis”
Arman, anak bertubuh tinggi besar yang duduk persis di belakang Mansur segera berdiri dan melaksanakan perintah gurunya. Pak Salman membelakangi kelas dan membisikkan sesuatu pada Arman. Arman mengangguk tanda mengerti. Setelah selesai, Arman kembali ke tempat duduk sambil membawa serta pengapus yang kotor dengan serpihan kapur tulis. Tak seorangpun menyadari hal ini karena Pak Salman meminta anak-anak untuk memperhatikannya.
Pay attention, please...!
Pak Salman berpura-pura menuliskan sesuatu di papan Tulis. Tak lama kemudian dia membalikkan badan menghadap kembali ke arah murid-muridnya. Tiba-tiba ada keributan di bangku barisan ketiga. Tanpa suara, Arman berdiri dari tempat duduknya lalu maju selangkah dan dengan gerakan cepat, ia meraupkan penghapus kotor ke muka Mansur. Mansur terkejut dan marah . Tetapi sebelum dia sempat berbuat apa-apa, Pak Salman dengan suara keras memanggil namanya.
“Mansur!”.
Mansur mengurungkan niatnya untuk melabrak Arman dan dengan wajah bersungut-sungut dia melihat ke arah Pak Salman seraya menunjuk ke arah Armand dan berkata terbata-bata, “Dia.... dia.....”
“Saya yang menyuruhnya. Dan kamu tak boleh marah. Bukankah tadi kamu bilang menerima semua taqdirmu? Pada hari ini jam ini Tuhan mentaqdirkan kamu diraupi temanmu dengan serpihan kapur”.
Mansur terdiam, lalu duduk kembali sambil menggumam pelan tanpa ada seorangpun mendengarnya, “Maafkan saya, Pak”
“Teeeet......  teeeet......”.  Bel tanda istirahat berbunyi. Pak Salman mengemasi buku-buku dan catatannya lalu meninggalkan kelas yang  meledak penuh tawa.
“Selamat siang anak-anak. Have a nice day!  

No comments:

Post a Comment