BAYANG-BAYANG ILUSI
Oleh : Miwa 3 Tsanawiyah A
Semua dimulai dari seorang pemuda
tampan penuh kejujuran, bernama Kozen -atau demikianlah teman-teman
memanggilnya- yang sedang berkutat dengan lembaran-lembaran berisi penuh
coretan tinta, mengais ilmu diiringi bisikan lembut angin sehingga membuat
suasana sangat syahdu. Di bawah pohon
rindang ia bersandar ditemani seekor kucing oyyen
kesayangannya yang bernama Shinji. Bunga-bunga yang bermekaran demi menerima
kerlingan hangat sang pujaan hati matahari perkasa menari-nari terkena goyangan
ekor Shinji. Di tengah kesibukan Kozen, sesekali ia menggelitik perut berbulu
anak berkaki empatnya itu. Shinji yang “mendengkur” keras mengasah kuku di
batang-batang pohon sambil bergulingan, melompat, berputar kemudian
menggesek-gesekkan pipinya ke kaki Kozen.
Tanpa
terduga sama sekali, tiba-tiba saja seekor kucing putih odd eyes melenggok di depan mereka, menjatuhkan kalung yang
dipakainya. Kozen si paling jujur yang melihat kejadian itu segera memungut benda
tersebut lalu berniat memasangkannya kembali ke si pemilik sebenarnya.
Sebenarnya ia bisa saja berpura-pura
tidak melihatnya atau membiarkan kalung itu disana. Tapi tidak! Di samping
Kozen pribadi yang jujur, kalung itu bukanlah kalung biasa tetapi berwarna emas
dengan kilauan perak dan berbandul batu ruby merah menyala.
“Orang sinting mana yang memakaikan
kalung seindah ini ke kucing peliharaanya?”, batin Kozen.
Saat
si kucing mau dipegang, dia langsung menghambur pergi seperti ketakutan seakan
melihat hantu bertaring panjang mau menerkam. Tanpa perintah, Kozen langsung
mengejar.
“Hei tunggu!”, teriak Shinji.
“Kau lambat! Kejar aku jika kau
bisa”, jawab Kozen dengan napas tersengal.
“Gendong aku”
“Tidak, kau berat!”
“Astaganaga….”, jerit Shinji mencak-mencak.
Kira-kira 300-meter sudah Kozen mengejar dari tempat kejadian perkara, terengah-engah Kozen mendongak keatas, mendapati kucing cantik itu bertengger rapi di atas pohon. Shinji yang tertinggal merasa sangat terkhianati oleh Kozen. Dengan berapi-api, dia meneriaki Kozen yang sedang memanjat pohon.
“Kozen! Apa yang sedang kau lakukan?
Untuk apa kau sampai memanjat seperti itu? Biarkan saja dia!”
“Tidak bisa, kalungnya ini terlalu
berharga untuk dibiarkan begitu saja. Harus dikembalikan”
Rasa jengkel Shinji makin
menjadi-jadi, ia menghentak-hentakkan kakinya ke tanah sembari memaki.
“Hey kau! Kalau pintar jangan kau
ambil sendiri. Otak mu kau jual ke warung Padang kah? Ayolah kawan.. Itu hanya
seekor kucing. Buat apa pula kau sampai susah payah mengejar dan memanjat?”
Belum selesai Shinji memaki, nasib
naas menimpa Kozen. Semesta tidak berkehendak keberuntungan berpihak kepada
Kozen rupanya. Kozen menginjak ranting rapuh kemudian terjatuh dengan dramatis.
“Aaaaaa……!!!!!!”, jeritnya.
Kozen memang jatuh, tapi tidak ke
bawah. Lantas kemana dia terjatuh? Sedangkan Shinji dari jarak 1-meter hanya
bisa menjadi saksi bisu Kozen dan si kucing bermata indah yang raib bersamaan
dengan kepulan asap belerang.
***
Pertama-tama
yang keluar dari mulut kozen adalah kata “Aduh”. Kozen kebingungan. Lalu dia
bertanya-tanya dalam hati, “di mana aku? Apakah ini surga”.
“Tidak. Ini bukan surga”, batinnya
sambil meraba benjolan lebam sebesar koin di pundaknya. “Dimana kucing itu?”
Di antara usaha Kozen mencerna apa
yang tengah terjadi, matanya menangkap pemandangan luar biasa menakjubkan
menggetarkan jiwa raga. Mulai dari langit yang berwarna hijau, awan kuning
berbentuk kotak, rumah-rumah berwarna merah jambu dengan polkadot warna hijau
neon, hingga hewan peliharaan di setiap rumah yang berkepala ikan, berkaki dua
seperti kaki sapi dan mengeluarkan suara seperti babi.
Penampakan tidak biasa seperti itu
sudah cukup membuat Kozen merasa sangat bodoh nan linglung. “Mana ada hewan
seperti itu? Hey! apakah itu ayam?”
Kozen terduduk lemas. Perasaannya
serasa terpukul oleh penggaris besi. Sekonyong-konyong ia melihat kucing putih
melompat di depannya. Seperti tertampar kenyataan, ia langsung berdiri lalu
lanjut mengejar.
Drama kejar-kejaran terus berlanjut.
Kozen mengejar dan mengejar. Melewati apartemen-apartemen berbentuk kaktus,
melewati hutan belantara dengan jamur-jamur setinggi 20 kaki di dalamnya,
menerjang sungai, melompati badai…. Ya, melompati badai. Badai-badai di sana
berbentuk segitiga dan sebesar kepalan orang dewasa.
Kozen terlalu rajin rupanya. Dia
sampai tidak sadar bahwa selama ini, semakin ia mengejar justru yang terjadi
malah semakin jauh tujuan yang dikejarnya.
“Tunggu! Dimana aku!”
Adalah pekikan Kozen sambil melotot
tatkala melihat pemandangan agak sedikit terlihat seperti kurang menyenangkan
di depan matanya. Suasana terasa mencekam. Tak ayal bulu kuduk Kozen berdiri
tegak seperti keadilan. Udara keruh, kabut dimana-mana. Makhluk-makhluk hijau
dengan kerlingan merah menyorot, berkejaran di bola mata Kozen. Hidung panjang.
Pentungan besar. Tidak salah. Goblin.
Tangan panjang terulur, jari-jemari
menjamah salah satu sisi baju Kozen. Jantungnya serasa mencelos, Kozen
tersungkur di balik semak-semak terdekat.
“Hai gadis kecil. Apa yang kau
lakukan disini?”
Sapa seonggok daging bertulang belakang. Ia mengenakan
topi seperti milik pesulap lokal dengan hiasan mawar merah besar di puncaknya.
“Aku laki-laki”, jawab Kozen singkat.
“Oh, iya kah? Lantas mengapa engkau
memakai rok bunga-bunga?” Kernyitan terlukis jelas di dahi pria itu.
“Ini sarung batik. Laki-laki ataupun
perempuan bebas memakai sarung motif apapun!”
“Oh, benarkah?”
“Jangan ganggu dia Max!”
Seorang pria tinggi bersepatu kulit
muncul, pria bertopi yang dipanggil Max itu menjauh dari Kozen kemudian menghambur
dibalik punggung pria bersepatu kulit itu.
“Perkenalkan anak muda, namaku Jack
dan ini Max. Kau terlihat sedang tersesat. Kami tau kau sudah jelas bukan orang
sini. Mari, ikut bersama kami. Kami akan menjamu dirimu di gubuk kecil kami
untuk minum teh”
***
Jack,
Max dan Kozen berjalan beriringan mengajak Kozen yang malang untuk menjauh dari
daerah perbatasan para-Goblin demi kebaikannya. Di perjalanan, sepasang mata
Kozen menangkap penampakan seorang wanita cantik bersepatu kaca. Lantas, ia
bertanya siapa dia. Kemudian Max menjawab sambil tertawa sampai gigi gerahamnya
terlihat.
“Menurutmu? Siapa lagi perempuan
bersepatu kaca kalau bukan Cinderella?”
“Tidak masuk akal! Cinderella pergi
ke pasar naik becak? ada-ada saja kau ini?” sanggah Kozen.
“Tidak-tidak. Dia tidak mau pergi ke
pasar. Dia mau melayat ke rumah 3 babi kecil”, timpal Jack.
“Saus tar-tar! Apa yang terjadi pada
3 babi kecil sobat?”, pekik Kozen parau.
“Benar Jack. Apa yang terjadi pada 3
babi kecil?” Max ikut bertanya.
“Jangan bilang kau tidak tau Max. Si
serigala. Serigala tua, Max! Dia mati kaku di depan rumah 3 babi kecil”, jelas
Jack.
“Bagaimana bisa? Siapa yang berhasil
membunuhnya?”, lolong Max.
“Tidak ada yang membunuhnya. Dia mati
terkena serangan jantung”
“Serigala?! Terkena serangan
jantung?! Lelucon macam apa lagi ini?”, potong Kozen.
“Siapapun bisa terkena serangan
jantung. Terutama si serigala tua itu. Dia terlalu banyak mengkonsumsi daging
dengan lemak jahat dan kolesterol tinggi. Seperti kambing dan babi. Dia
terkenal suka sekali makan makanan berlemak, merokok, minum-minuman beralkohol,
tidak pernah olahraga, terlalu banyak pikiran negatif, temperamental, mudah
tersinggung, begadang dan jarang mandi. Pecinta olahan santan terutama gulai
seperti itu tidak membuatku heran jika didapati tergeletak tewas begitu saja
didepan pintu rumah seseorang saat ingin bertamu”, oceh Jack panjang lebar.
“Hmmm… dari semua yang kau katakan
temanku, kurasa penyebab utama dia terkena serangan adalah darah tinggi,
kolesterol, kerusakan pada hati dan juga asam lambung. Aku menyebutnya dengan
komplikasi”, timpal Max.
Kozen mengangguk petanda sudah dapat
mencerna keadaan dan semua yang telah terjadi padanya. Mau tidak mau dia harus
cepat beradaptasi dan sok kenal sok dekat disini, minimal agar nyawanya tidak
terancam.
***
Kozen,
pria bersarung dengan songkok gagah bertengger di kepalanya sedari tadi hanya
bisa terkagum-kagum atas semua pemandangan yang ada. Sepasang matanya tidak
berhenti terbelalak. Jantungnya berdegup kencang. Bibir tipis semerah delima
ranum itu sedari tadi terus-terusan komat-kamit sepanjang jalan.
“Masyaallah! Apakah itu anjing?”
“Allahu Akbar! Telinga kelinci itu
besar sekali…”
“Segala puji bagi Allah, Tuhan yang
Maha Esa pencipta alam semesta!” Yaa… kira-kira seperti itulah kalimat yang
terlontar dari mulutnya.
“Jika ada yang ingin kau tanyakan,
tanyakan saja nak. Ngomong-ngomong apa yang membuatmu sampai bisa kesini?”
“Aku kurang mengerti secara pasti.
Seekor kucing putih lewat di depan ku kemudian…”
Kozen menjelaskan apa yang terjadi.
“Ahh.. baru ini aku mendengar ada
kucing seperti itu. Tapi kau bisa bertanya pada Max. barangkali dia pernah
mendengar atau melihatnya”, timpal Jack mengangguk-angguk.
“Aku tidak tahu”, gumam Max. “Tapi…
tunggu. Kau bilang warna matanya berbeda? Sepertinya aku tahu. Aku dengar dia
kucing yang tidak baik. Saranku kau pulang saja lalu jual kalung itu”, sambung
Max dengan mulut penuh kacang.
“Jika Max berkata demikin. Maka
demikian”, kata Jack.
“Aku tidak bisa menjual barang yang
bukan milikku begitu saja tanpa dosa. Aku sudah terlanjur mengejar sampai sini!
Jangankan untuk pulang, berada dimana saja aku tidak tau”
Jack dan Max saling menatap. Kemudian
mereka tertawa.
“Kau ini kenapa? Aneh! Dungu atau
bodoh? Ya ini kami akan menjamu dirimu sekalian menunjukkan arah jalan pulang.
Kami yakin kau masih terkaget-kaget lantaran hampir terkena pentung om-om
goblin.”
“Ngomong-ngomong soal kau berada
dimana, aku kesulitan untuk membuatmu cukup mengerti”, kata Jack.
Dan Max lalu menimpali, “Selamat
datang di portal isekai tanpa ujung.
Aku sendiri kurang mengerti kenapa bisa portal itu terbuka lagi. Tapi
sudahlahlah. Que sera sera. Yang akan
terjadi biarlah terjadi”
***
Gubuk
Max dan Jack tidak mencerminkan rumah sama sekali. Berbentuk segi enam dicat
warna coklat dengan dua cerobong asap, lima pintu dan tiga jendela. Agak aneh
tapi tidak masalah. Terdapat pula patung setinggi dua meter berbentuk seperti
kecoa berada tepat di sisi kiri setiap pintu.
Tapi begitu masuk ke dalam gubuk,
semua tampak normal. Terlalu normal sampai melenakan diri sedang berada di alam
lain.
Max menyodorkan secangkir teh pada
Kozen. Kozen menelan ludah. Teh yang konon katanya adalah teh paling enak
seantero alam semesta terlihat sangat meragukan. Tehnya berwarna biru pekat dan
bau seperti karpet basah.
Sementara Jack memutar Gramofon (alat
pemutar piringan hitam zaman dahulu). Semula samar-samar lalu semakin keras
terdengar nyanyian seorang wanita yang suaranya melengking tinggi, “Haruskah ku hidup dalam angan angan.
Merengkuh ribuan impian. Haruskah ku lari dan terus berlari. Kejar
bayang-bayang ilusi. Bayangan ilusi. Hanya fantasi. Bayangan ilusi.”
Jack lalu bertanya pada Kozen, “apa
yang kamu impikan saat ini?”
“Aku ingin pulang”, lirih Kozen
hampir menangis.
Otak mungilnya sudah tidak sanggup
lagi menerima ketidak masuk akalan ini.
Jack berkata, “Iya iya.. Ini kami
akan memberi tau dirimu jalan pulang. Pertama, kau hanya perlu berjalan lurus
tanpa menoleh kebelakang. Jika kau menemukan jalan berwarna kuning, ikuti saja
terus dengan masih tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Dan dengan
berakhirnya jalan, maka engkau akan sampai rumah.”
Kozen mengangguk.
“Tapi sebelum keluar dari rumah ini
kamu harus mengingat baik-baik syair dari lagu yang aku putar itu. Sebab itu
merupakan kunci dari pintu keluar.”
“Baiklah, aku akan ingat. Tapi
bolehkah aku tau siapa nama penyanyi wanita itu?” Jawab Kozen.
“Anggun si pemimpi yang takut
mengejar bayangan ilusi. Ia bernyanyi untuk mengingatkan diri jangan berpijak
pada emosi saat berlari.”
“Maksudnya?”
“Ketika bayangan ilusi datang, apapun
bentuknya, jangan dikejar. Kita cukup menyadari bayangan yang ada, dan berada
di dalam kesadaran tersebut. Inilah titik awal yang berada sebelum segala
pikiran dan emosi muncul. Di dalam titik ini, kita akan menemukan kejernihan
dan kedamaian.”
“Aku masih tak mengerti.”
“Kau tak harus mengerti semua hal.
Kalau kau mau pulang, yang perlu kau lakukan hanyalah berjalan lurus tanpa
menoleh kebelakang. Jangan pernah menoleh ke belakang, dan jangan bertanya
kenapa!”
***
Setelah
berjalan sekian lama, akhirnya Kozen sampai di sebuah tangga spiral yang
terlihat berakhir pada cahaya yang terang benderang. Ia tertegun melihat ada
tujuh kurcaci yang menari-nari di tangga awal hingga tangga ke tujuh.
“Permisi numpang lewat…”
“Jawab pertanyaanku dan kamu boleh
lewat. Kau tak akan pernah mampu mengejarnya walau ia berdekatan denganmu,”
kata kurcaci yang berada di tangga pertama.
Kozen menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal, lalu teringat lagu yang ia dengar di rumah segi enam. “Bayangan
ilusi”, jawabnya.
“Bravo…! Engkau tak akan akan
mendapat kemuliaan tanpa mau melakukan kebajikan. Sebab Kemuliaan itu mengikuti
kebajikan seolah-olah itu adalah bayangannya. Fokuslah untuk berbuat baik, dan
engkau akan mendapatkan kemuliaan.” kurcaci itu kemudian melompat dan memberi
hormat pada Kozen lalu mempersilahkan lewat.
Di tangga kedua kurcaci lain
menghadang lalu dengan serius bertanya, “Sesuatu yang tampak nyata dan ada,
tetapi sebenarnya tak ada. Jika kau kejar ia akan berlari, bila kau palingkan
diri ia akan berbalik mengejarmu. Apa itu?”
“Bayangan kita sendiri.”
“Marvelous…!
Jangan takut mengambil sikap saat melangkah menuju kesuksesan. Sebab ketakutan
seringkali memberikan bayangan besar pada hal kecil.” Kurcaci kedua membungkuk
lalu menyigkir.
“Orang yang tak bisa move on, tak berhenti menyesali
kegagalan, sama seperti orang yang mengejar sesuatu. Semakin dikejar, semakin
jauh dari jalan keluar. Apa sesuatu itu?,” tanya kurcaci ketiga.
“Bayangan kita sendiri”
“Mantap…!” teriak si kurcaci ketiga
pergi meninggalkan tangga sambil menggumam, “orang yang tak berani mengambil
keputusan meninggalkan masa lalu yang tidak menyenangkan maka ia akan berputar
dan berjalan di tempat. Ha ha ha …”
Di tangga ke empat, kurcaci yang paling
kecil berkata, “Orang yang hanya bermimpi tapi tak pernah berusaha mewujudkan
mimpinya, maka ia seperti orang yang hidup dalam…..?”
“Bayangan ilusi!”
Tak berkata apa-apa, tiba-tiba saja
kurcaci kecil itu lenyap dari pandangan mata.
“Kalau kau menghafal hanya menambah
dan tak mengingat yang sudah lewat, maka engkau seakan melupakan … ?”
“Bayangan sendiri”
“It's
true!”, kata kurcaci di tangga lima itu sambil menari dan pergi. Tapi
tiba-tiba dia berbalik dan berteriak di muka Kozen, “melupakan masa lalu adalah
kebodohan. Jangan pernah melupakan masa lalu, tapi jangan sampai terkurung di
dalamnya”
Kurcaci berikutnya kelihatan sudah
uzur dan lemah. Dengan lirih, ia
berkata, “selama orang berada dalam cahaya, maka orang itu akan memiliki sisi
gelap. Apa sisi gelap itu?
“Bayangan”
"Benar! Setiap orang yang masih
berada dalam cahaya yang artinya masih hidup, pasti ia memiliki sisi gelap.
Namun jika ia menghadap ke arah cahaya, maka sisi gelap akan berada di
belakangnya. Jika seseorang menatap masa depan dengan optimis, maka tak ada
bagian gelap yang menghalangi jalannya." Selesai berkata demikian, kurcaci
itu berjalan menjauh.
Di tangga ke tujuh, Kozen di hadang
oleh kurcaci bertubuh tambun. Pipinya chubby
perutnya buncit sehingga perawakannya yang memang pendek nampak menjadi bulat
seperti bola. Dengan suaranya yang kecil melengking ia bertanya pada Kozen, “Ia
selalu di dekatmu saat terang, tapi ia tidak terlihat saat di kegelapan. Apa
itu?”
“Bayangan”
“Tepat sekali. Demikianlah
perumpamaan sahabat palsu. Mereka selalu di dekatmu saat terang, saat senang,
tapi mereka tidak terlihat dimanapun saat gelap, saat terjatuh dan kesusahan.
Berbahagialah ia yang memiliki sahabat sejati.” Kurcaci gendut memegang tangan
Kozen dan seketika ia berada dalam cahaya yang sangat terang dan ia tak ingat
apa-apa lagi.
***
Saat
tersadar kembali, Kozen terduduk di tanah. Jantungnya berdegup kencang
menandakan dia masih hidup. Secara utuh tanpa cacat sedikitpun ia memegangi
kepalanya yang terasa pening luar binasa.
“Meong..
Ngaong ngaong..”
Tersentak kaget setengah sadar, Kozen
kembali mendapati dirinya sedang duduk di bawah pohon besar ditemani seekor
kucing bernama Shinji yang jelas tidak bisa berbicara, menjilati ekornya
kemudian mencakar sarung Kozen.
“Aku dima..” Belum selesai Kozen
berucap, adzan Maghrib berkumandang membuat Kozen sontak berdiri lalu berlari
pulang.
“Itu semua cuma mimpi. Iya kan
Shinji”, guman kozen sambil berlari.
Yang
tanpa dia sadari, kalung emas dengan kilauan perak berbandul batu ruby merah
menyala, terselip rapi di saku baju Kozen.
***
No comments:
Post a Comment